Kamis, 14 Mei 2020

Kompetensi Wajib Mahasiswa Era Revolusi Industri 4.0

Mei 14, 2020 0 Comments

Hai, para pejuang kehidupan nyata.

Menyandang status sebagai mahasiswa memang membanggakan. Terlebih ketika bisa masuk Universitas favorit. Eits, tunggu dulu. Bangga boleh saja. Tapi sudahkah kita memenuhi kriteria? Kalau hanya merubah status dari siswa menjadi maha, tidak perlu berbangga diri. Karena tuntutan menjadi siswa bergelar "Maha", artinya harus memiliki kemampuan di atas siswa.

Mahasiswa mempunyai tanggung jawab lebih besar baik terhadap diri sendiri maupun lingkungannya. Di era revolusi industri 4.0 ini, mahasiswa dituntut memiliki beberapa skill yang memadai untuk kehidupannya.

Revolusi industri 4.0 merupakan konsep yang digagas dan diperkenalkan oleh ekonom asal Jerman, Professor Klaus Schwab. Revolusi industri 4.0 adalah tahap akhir dalam konsep ini setelah tahapan pada abad ke-18, ke-20, dan awal 1970. Revolusi industri 4.0 ditandai dengan sistem cyber-physica. Kini berbagai industri mulai menyentuh dunia virtual berbentuk konektivitas manusia, mesin, dan data yang lebih dikenal dengan nama Internet of Things (IoT).

Cek yuk skill apa saja.

Setidaknya ada 4 kompetensi wajib yang harus dimiliki seorang mahasiswa:

1. Leadership

Leadership memiliki makna kepemimpinan. Ingat, leadership bukan berarti bos ya. Kepemimpinan untuk mempersiapkan setiap mahasiswa di berbagai jenjang dengan karakter yang kuat. Leadership diperlukan oleh setiap mahasiswa, baik yang mengikuti organisasi kampus maupun yang tidak. Hal ini dikarenakan, kamu akan memimpin kehidupan, baik diri sendiri, maupun orang lain.

2. Language Skill

Kemampuan berbahasa asing khususnya bahasa inggris dan bahasa Arab dapat menunjang potensi mahasiswa. Hal ini karena lulusan perguruan tinggi diharapkan dapat bersaing secara global. Nah, kamu sudah siap bertarung dengan dunia?

3. IT Literacy

Dalam revolusi industri 4.0 kita mengenal dua istilah dalam dunia literasi, yaitu literasi lama dan literasi baru. Literasi lama dikenal dengan cakupannya yang meliputi kemampuan membaca, menulis, memahami pesan, dan sebagainya. Sementara literasi baru merujuk pada bahasa coding dan program. Kemampuan ini penting dimana teknologi IT menjadi ciri utama era revolusi industri 4.0, termasuk di dalamnya mengenal literasi baru. So, jangan hanya menggunakan HP buat selfie ya.

4. Writing Skill

Kegiatan menulis penting untuk menuangkan ide dan gagasan yang kita miliki dan pikirkan maupun inovasi baru yang dapat ditularkan pada revolusi industri 4.0. Kemampuan menulis merupakan salah satu kemampuan yang tidak dapat ditiru oleh sistem robot. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki daya kreativitas dan ide berbeda. Pengalaman yang berbeda membuat kemampuan menulis juga memiliki gaya berbeda tiap orang. Bahkan, jika menulis status bisa menghasilkan sebuah buku, kenapa tidak?


Itulah setidaknya 4 kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa. Artikel ini bukan untuk menggurui. Melainkan lapak untuk berdiskusi. Jika kalian ingin membahas topik lain silakan komen ya.
Selamat berjuang untuk kehidupan nyata. Karena beratnya kehidupan mahasiswa, tidak lebih berat dari kehidupan setelahnya.

Buku Baru 2020 : The Unknown Memories (Kumpulan Kisah Melawan Keterbatasan)

Mei 14, 2020 0 Comments

Di buku ini kamu akan menemukan hal menakjubkan. Tak sekadar kisah.

The Unknown Memories
PENULIS : Atsuka D dan Penulis Muda DPL
Ukuran : 14 x 21 cm
ISBN : 978-623-251-872-8 (PDF)
Terbit : Mei 2020
Harga : Rp 91000
www.guepedia.com

Sinopsis:

Impian adalah yang membuat kita bergerak maju. Impian yang membuat kita bangkit setelah terjatuh. Melalui 24 kisah ini, kita akan menemukan makna perjuangan meraih impian, mengikhlaskan ketika semua tak sesuai rencana, dan menerima ketentuan Allah yang telah dituliskan-Nya.
Dalam segala keterbatasan, para tokoh bangkit untuk kembali berjalan melawan keterbatasan. The Unknown Memories hadir untuk membentangkan beberapa kisah menakjubkan dari dunia tentang impian dari 19 penulis berbeda. Selamat berjuang.


www.guepedia.com
Email : guepedia@gmail.com
WA di 081287602508       

Enjoy your day, guys

Senin, 04 Mei 2020

PSBB: Yakin Hanya Bisa Rebahan? (Produktif Dunia Akhirat di Masa Karantina))

Mei 04, 2020 0 Comments



Pembatasan social berskala besar (PSBB) merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam menanggulangi penyebaran Covid-19. Cara ini diklaim paling efektif dalam hal tersebut. Meski pada beberapa daerah terjadi penolakan terhadap kebijakan ini. Pasalnya, tidak semua warga memiiki pekerjaan tetap dan penghasilan cukup. Tentu saja, penerapan kebijakan ini menimbulkan pertanyaan, apakah efektif?

Dalam menekan laju penyebaran Covid-19, mungkin efektif. Tapi untuk menekan laju kriminalitas dan nilai pengangguran, mungkin lain cerita. Untuk kaum rebahan, mungkin ini sangat efektif. Mereka bisa rebahan sesuka hati mereka. Jika dimarahi orangtua, cukup mengatakan, mengikuti aturan pemerintah untuk tidak keluar rumah.

Bagi kaum rebahan, mari kita mulai masa di rumah saja dengan hal-hal positif.
1.      Tiktokan
Tiktokan memang menyenangkan ya gengs. Tapi perlu diperhatikan. Jangan sampai karena asyik tiktokan dan kejar setoran, akhirnya jadi lupa bangun, lupa mandi, lupa ibadah, lama-lama lupa kalau kalian masih hidup.
Meski tiktokan adalah cara asyik menghabiskan waktu luang, bukan berarti 24 jam harus main tiktokan. Kalian harus bisa mengatur waktu kalian dengan baik ya. Buatlah jadwal kapan harus main tiktok dan berapa lama. Sisanya, perhatikan waktu ibadah dan memperbanyak amalan.
Bulan Ramadhan ini adalah bulan penuh berkah. Sayang bukan, kalau diisi hanya untuk bersenang-senang? Tiktok itu hanya untuk mengisi waktu luang, rebahan hanya untuk mengistirahatkan badan, dan ibadah yang utama. Jangan sebaliknya ya.
Jangan tiktok sepanjang waktu, rebahan tak kunjung bangun, nanti mati tak ada yang tahu.

2.      Drama Korea
Wah, siapa sih yang nggak suka nonton drama. Apalagi drama korea. Selama masa di rumah saja, pasti banyak dari kalian memenuhi memori dengan stok drama korea terbaru. Terus update setiap saat.
Nonton drama korea memang seru. Apalagi kalau ceritanya bagus dan aktornya luar biasa tampan. Tapi ingat ya, jangan karena drama korea sambil rebahan, kamu lupa solawatan dan baca Al Quran. Jangan sampai terlalu sibuk nonton drama korea, Al Quran jadi karatan.
Kalau sudah begitu, jangan lupa banyak-banyak istighfar.
3.      Game
Paling ampuh menghilangkan bosan adalah dengan main game. Satu jam rasanya satu menit. Kalau belum menang, ambisi menyelesaikan belum berakhir. Apalagi kalau sudah ahli. Hmmm waktu seakan cepat berlalu, sampai panggilan solat diabaikan.
Duh, jangan seperti itu ya gengs. Main game sah-sah saja kok. Tapi sah juga dong kewajiban kalian. Solat bila perlu ditambah porsi, dari Cuma 17 rakaat, jadi 48 rakaat.
Nanti di akhirat, nggak ditanya kalian sudah level berapa, yang ditanya, sudah sampe mana solatnya. Jangan-jangan baru sampai Al-Ikhlas saja yang dibaca.
4.      Youtube-an
Waktu seakan kurang jika melihat video-video kesukaan. Video memang tak ada habisnya. Selalu ada yang baru dan menarik untuk disimak. Tidak apa-apa. Hanya saja, lebihkan di amalan untuk akhirat ya. Coba-coba saja nonton video tausiyah, siapa tahu hati terbuka dan dapat hidayah. Jika perlu, buat video sendiri yang bermanfaat ya.


Semua hal memang menyenangkan kalau itu dilakukan tanpa beban. Mulailah dengan hal-hal sederhana. Jangan lupa buat target yang pasti. Misal, jika dulu belum mampu menghatamkan Al-quran di bulan ramadhan, buatlah target setidaknya hafal satu kali selama bulan ramadhan. Jika dulu hanya bisa solat lima waktu, itu pun masih bolong-bolong, setidaknya sekarang waktunya menambah hitungan jumlah rakaat yang bisa dikerjakan. Siapa tahu bisa berlanjut hingga seterusnya.
Berubah tidak menunggu nanti. Tapi di mulai dari saat ini juga. (Untuk mengingatkanku juga)

Sabtu, 02 Mei 2020

Kata-Kata Semangat Saat Masa Pandemi Covid-19

Mei 02, 2020 0 Comments
Kata Semangat untuk Mengisi Waktu di Rumah Saja



Tahun 2020 akan menjadi tahun bersejarah bagi dunia. Di mana dunia akhirnya tunduk pada makhluk tak kasat mata yang lebih sering kita sebut namanya. Covid-19, telah merajai dunia, bahkan dunia maya. Namanya langsung melejit hingga membuat dunia terisolasi.

Banyak pelajaran yang kita dapatkan dari Covid-19 ini. Bagaimana kesombongan kita menjadi kecil nilainya. Kita yang besar, yang dicipta dengan sempurna, tapi tumbang oleh makhluk berukuran mikro yang tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Manusia, tetaplah makhluk Tuhan, yang tidak akan bisa apa-apa tanpa Tuhan.

Dunia akan memulihkan diri. Manusia dipaksa introspeksi diri. Tuhan memang tak pernah kehabisan cara untuk membuat kita menjadi baik. Meski pada akhirnya, tetap ada manusia yang memilih berdiri di jalan yang salah. Kejahatan justru semakin merajalela. Perut menjadi alasan utamanya.

Terlepas dari semua itu, mari kita tetap semangat. Berikut kata-kata yang kutulis di instagram agar kita tetap semangat:

1. Sejauh apa kita berjarak, selama doa kita terikat, kita tetap akan dekat.
2. Sejauh apa kita terpisah ruang, selama kita masih saling mengingat, kita tetap akan erat.
3. Sesingkat apa kita saling menyapa, selama kita masih bisa bertatap muka, hubungan kita tidak akan cepat tamat.
4. Ada tangis yang harus tumpah di sepertiga malam. Ada sulit yang harus diadukan di sujud paling dalam. Ada resah yang harus dilepaskan pada doa khusyuk paling dalam. Di masa ini, semoga kita semakin akrab dengan Tuhan.
5. Tersenyumlah. Tersenyum adalah hal yang istimewa. Seseorang tersenyum bukan karena berusaha pura-pura bahagia. Tersenyum adalah cara berkata, ketika 'baik-baik saja' sudah tidak sanggup bersuara.


Mari kita berdoa bersama, semoga semua kembali normal seperti sedia kala. Allah tidak akan menguji kita, melainkan untuk membuat kita lebih baik.

Selamat menjalankan aktivitas di rumah saja. Bersabarlah. Dunia akan segera baik-baik saja.

https://www.instagram.com/p/B_paQitl4dR/?igshid=rrk7jhlxi3ka

Rabu, 29 April 2020

Puisi Nasionalisme : Meraunglah Garuda

April 29, 2020 0 Comments

Meraunglah Garuda
Atsuka_D

Garudaku sendu
Langit tempatnya bernaung kelabu
Tanah tempatnya berpijak rantah

Perisainya patah, keluhurannya telah terjajah
Bintang tunggal tak lagi bercahaya emas
Gelang-gelang rantai kecil tak lagi bersimpul; terberai
Beringin pun tumbang; akar tunggangnya patah menunjang tanah
Memudar kepala banteng; tertunduk sudah martabat bangsa
Padi kapas tertindas perjanjian langit; terlupa pada sandang pangan papan

Tetap; ragamu tersenyum pada jiwa-jiwa berkalang tanah
Namun, saat mimpi luhur menjelma simbol semata
Meraunglah, 
Meraunglah Garuda




link gambar: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.kompas.com%2Fskola%2Fread%2F2019%2F12%2F19%2F160000769%2Flambang-garuda-pancasila-makna-dan-sejarahnya%3Fpage%3Dall&psig=AOvVaw0jULHgiZGhzUod5wTt-bBZ&ust=1588220709201000&source=images&cd=vfe&ved=0CA0QjhxqFwoTCKDq3LXljOkCFQAAAAAdAAAAABAD

Senin, 27 April 2020

Kumpulan Puisi 2020 : Luruh, Mencintaimu Aku Rapuh

April 27, 2020 0 Comments


LURUH (Mencintaimu, Aku Rapuh) adalah buku kumpulan puisi yang ditulis oleh Mujahid Berpena & Atsuka D yang diterbitkan di penerbit Indie Digital Media (IDM) Publishing.

Harga PO: Rp 47.500 (normal 50.000)
PO sampai tanggal 31 Mei 2020

ISBN : 978-623-93389-1-6

Cet. I, April 2020

Puisi untukmu yang sedang berseni jihad di hati yang tak tepat.
Seni mencintai dengan sebelah hati dan segenap rukun.

“Untuk saat ini, biar aku mencintaimu dengan baik.
Bila Tuhan berkehendak, kelak hatimu akan terbuka.
Semoga aku sabar dengan cintaku dan semoga engkau
tak terlambat menyadari itu.”

Sinopsis: Kumpulan Puisi ini berisi beberapa puisi dan kata motivasi tentang mencintai dengan sebelah hati. Perjuangan ketika mencintai di satu sisi. Di buku ini juga kamu akan menemukan makna kehilangan dan bangkit setelahnya. Jika kamu pernah berada di posisi dan atau sedang berada di posisi mencintai dengan sebelah hati, buku ini tepat untuk menemanimu berbagi sakit yang sama, berbagi perjuangan yang serupa, dan tentu berbagi cara mengikhlaskan. Mari peluk buku ini agar hatimu hangat dari dingin balasan cinta darinya. 


Narahubung :
HP : 085841039319
Twitter : @idmpublishing
Instagram : @idmpublishing
Fanpage : Indie Digital Media Publishing
E-Mail : idmpublishing02@gmail.com

Minggu, 26 April 2020

Eternity Love

April 26, 2020 0 Comments
Eternity Love
Atsuka D


Suara derai air mata langit gemericik di jalanan dan atap-atap rumah. Seumpama sepatu balet yang menari gemulai di atas pentas. Seumpama melodi melantun di orkestra sang maestro. Langit tidak begitu mendung untuk dikatakan lebat. Petir tidak menyambar disusul teriakan guntur untuk disebut badai. Tetapi cukup membuat Nindya memutuskan berteduh di depan toko bangunan.
Saat berteduh, dia melihat seseorang di sana. Seorang pria dengan jaket kulit coklat dan masker hitam. Nindya menyapanya dengan senyum tipis. Pria itu mengangguk. Dari lekung di sekitar mata, sepertinya dia membalas senyum Nindya.
“Sudah basah kok baru neduh Mba?” Tanya pria itu.
Nindya tersenyum, dia juga sadar akan kebodohannya, “pikirku hujan ringan. Ternyata lumayan. Aku ingat kalau bawa laptop.”
Nindya memalingkan pandangannya. Dia agak canggung. Pasalnya, di depan toko hanya ada dirinya dan pria itu. Sementara toko tersebut tutup. Jalanan di gang kecil tidak terlalu ramai. Mulailah pikiran Nindya berkeliaran.
“Darimana Mba?” Tanya pria itu lagi.
Nindya kaget. “Em dari kampus Mas. Mau pulang ke Fajar Baru.”
Karena jawaban Nindya yang berlebih, suasana canggung terjadi lagi. Seharusnya, Nindya menjawab pulang kerja saja sudah cukup. Sehingga perbincangan akan berlanjut pada pertanyaan selanjutnya, semisal kerja dimana, pulang kemana, atau semacamnya.
Pandangan keduanya canggung menatap jauh ke depan. Di seberang jalan berdiri rumah megah bak istana. Pintu gerbangnya berdiri mentereng. Dari gerbang itu terlihat halaman depan rumah yang dipenuhi berbagai macam jenis tanaman.
Tiba-tiba seseorang keluar dari rumah membawa payung hitam berukuran sedang. Setelah berada di halaman, dia melepas kedua alas kakinya. Dia menjelma peri yang menari diantara hujan. Dia tertawa, menikmati bagaimana hujan menguyurnya.
Nindya tersenyum melihat tingkah pemuda itu. Melihatnya seperti melihat anak-anak yang berlarian bebas. Tertawa lepas. Merasa dirinya teramati, langkahnya terhenti. Matanya tepat bertemu mata Nindya. Keduanya saling menatap.
***
“Mas gimana dong?” gerutu Nindya.
Lelaki itu tersenyum, “Lain kali kalau hujan, langsung neduh. Jangan menunggu basah kuyup dulu, baru neduh.”
Nindya terdiam mengingat dimana dia pernah bertemu lelaki itu, “Oh Mas yang kemarin berteduh di depan toko bangunan? Saya Nindya. Mas…?”
“Ezar.” Jawab Ezar ringan. “Nggak pakai Mas.”
 “Jadi gimana?” Tanya Nindya mengharapkan jawaban jelas tentang kondisi laptopnya. “Bagaimana nasib skripsiku. Aku harus lulus tahun ini. Bapakku sakit.” Terang Nindya ingat bapak yang sedang sakit.
Ezar berpikir sejenak. “Bagaimana kalau menyewa laptopku?” Ezar tersenyum. “Kebetulan aku butuh uang. Jadi gimana kalau laptopnya aku sewakan ke kamu.” Terang Ezar.
“Wah beneran?” kata Nindya dengan mata berbinar-binar. “Terima kasih ya.”
***
Tidak ada mendung di ufuk barat. Sore hampir kembali ke peraduan ketika senja menjelma rupawan. Menikmatinya seperti menemukan sekantong rahasia. Tentang teka-teki kehidupan yang kadang mengejutkan. Nindya adalah manusia paling setia menikmati senja. Motornya berhenti di depan toko Service Komputer.
“Mau kemana?” Tanya Nindya mendapati Ezar mengenakan jaket kulit dan masker. Tepat seperti saat pertama kali mereka bertemu.
“Ada urusan.” Jawab Ezar ringan sembari melepas maskernya. “Baru pulang?”
“Iya.” Nindya berjalan keluar. Lalu duduk di kursi yang disediakan di depan toko.
Sejak peristiwa penyewaan laptop, mereka menjadi dekat. Mengikrarkan diri sebagai sahabat. Ezar selalu menerima keluhan Nindya. Menjadi tempat bagi air mata maupun senyumnya, tanpa mengeluh. Dia satu-satunya orang yang bisa mengantar Nindya kemanapun pergi.
“Lihat.” Kata Nindya menyodorkan brosur. “Aku ingin ikut.”
Ezar membaca sebentar judul brosur itu, “Kalau kamu bisa membagi waktu dan kamu bahagia, aku akan mendukung.” Jawab Ezar.
“Ezar… you are my best friend.” Kata Nindya bahagia.
“Iya, ayo pulang. Aku antar.” Kata Ezar.
Nindya mengangkat ranselnya. Mempersiapkan diri dalam perjalanan baru di fase kehidupannya.
***
Sepuluh menit yang lalu, peserta rekrutmen dikumpulkan di bawah pohon beringin. Kemudian seorang senior mengomando setiap peserta untuk melakukan interview. Kebetulan Nindya bersama Ulya, teman lamanya.
 “Nindya!” nama Nindya dipanggil.
Nindya melangkah maju. Dia disuruh masuk ke saung. Bertemu dengan seorang senior. Mata Nindya memperhatikan lelaki itu. Tiba-tiba terbayang suasana hujan di sebuah gang. Seorang menari diantara hujan dengan riangnya.
“Kenapa tertarik dengan dunia fotografi?” Tanya sang senior.
Nindya menunduk, lalu menjelaskan. “Awalnya melihat instagram A.Zone. Fotonya bagus.”
Sang senior tersenyum ringan. Dia berpikir bahwa Nindya sama seperti orang lain yang berkomentar bagus untuk setiap fotonya. Di telinganya, kalimat Nindya seperti sogokan yang terdengar menjijikan.
“Tapi…” tiba-tiba Nindya meneruskan kalimatnya. Ada keraguan dalam kalimatnya. “Setiap melihat karyanya, aku menemukan luka. Sejak saat itu, aku ingin membuat foto yang bisa menyembuhkan lukanya. Foto kebahagiaan.”
Suasana hening. Sang senior tertegun. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang bisa membaca luka dalam fotonya.
“Jika kamu bertemu orang di balik A.Zone apa yang akan kamu lakukan?” Tanya sang senior.
“Aku berjanji akan menyembuhkan lukanya. Akan kubuat dia bahagia.” Janji Nindya.
Sang senior tersenyum. “Baiklah. Kamu sudah berjanji.” Jelas sang senior.
Nindya mengangguk tanda setuju dengan janjinya.
“Apa yang ditanyakan Kak Dziki?” Tanya Ulya penasaran.
“Biasa.” Jawab Nindya tak memberi gambaran seperti yang diinginkan Ulya. “Kamu kenal senior itu?”
Ulya tertawa, “Bagaimana tidak kenal. Beliau adalah orang di balik A.Zone.”
Nindya terkejut. Dia merasa ingin menghilang dari dunia ini.
***
 Tidak ada lilin ataupun kue di atas meja. Hanya sebuah album foto dan kamera usang.
“Tidak terasa dua tahun kita bersama. Apa kamu masih ingat janjimu?” Tanya Dziki.
“Berjanji menyembuhkan luka Kak Dziki.” Jawab Nindya.
Dziki tersenyum. “Apa kamu tahu aku bercita-cita untuk tidak menjadi tua.”
Nindya tertawa.
“Jika kamu ingin aku menikahimu, aku punya syarat.” Kata Dziki.
Nindya tidak peduli dengan kata syarat. Yang terdengar jelas di telinganya hanya kata menikah. Bapak menyuruhnya menikah segera.
“Berjanjilah untuk tidak menjadi tua.” Kata Dziki mengejutkan Nindya. “Aku benci rambut putih. Aku benci kulit keriput.”
Nindya tersentak. Bagaimana mungkin manusia tidak menjadi tua. Inikah triknya untuk mengatakan kalimat lain seperti ‘aku tidak ingin menikah denganmu’?
“Setiap aku ulang tahun, aku selalu berfoto mengenakan baju hitam?” Dziki membuka album fotonya.
Nindya mengangguk. Dia tahu. Untuk itulah dia datang dengan mengenakan stelan gamis berwarna hitam.
Dziki membuka halaman terakhir yang berisi foto dirinya dan Nindya, “Aku ingin lembar berikutnya adalah foto kita bersama. Apa kamu suka?”
Kepala Nindya pusing. Baru saja Dziki mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah dengan Nindya. Lalu tiba-tiba mengatakan bahwa ingin hidup bersama selamanya. Dia manusia macam apa, pikir Nindya kesal.
 “Bagiku, ulang tahun adalah saat dimana aku paling bersyukur bahwa aku bisa melewati satu tahun umurku. Menghitungnya membuatku senang.” Terang Dziki.
“Kak Dziki ngomong apa?” akhirnya Nindya bertanya karena kepalanya terlalu pusing menerjemahkan kalimat Dziki yang berantakan.
Dziki tersenyum. “Ah sudah lupakan. Kita ambil foto dulu yuk.” Ajak Dziki.
Mereka pun mengambil foto bersama. Tahun kedua kebersamaan mereka.
***
“Apa dia tidak bisa datang sebentar saja?” Tanya ibu kepada Nindya.
Nindya menunduk. Dia sudah menghubungi nomornya berulang-ulang. Tapi tidak aktif. Dia juga sudah mendatangi rumahnya.  Bibinya berkata bahwa Dziki tidak di rumah.
“Bapak hanya ingin bertemu dengan pacarmu sebentar Nin. Tidak bisakah dia diajak ke sini?” ibu memaksa untuk permintaan sepelenya.
 “Nindya coba ya Bu.” Jawab Nindya.
Nindya keluar. Telphonnya tetap tidak diangkat. Nindya tersungkur. Akhirnya dia mengirimi pesan.
Bapak sakit. Dia hanya ingin melihatmu sebentar. Tolong datanglah ke rumah sakit.
Tiba-tiba sebuah pesan balasan masuk. Nindya pun bahagia membaca satu kata. Iya.
***
Nindya berlari tak karuan. Di susul Ezar yang menjaga agar gadis tangguh itu tak goyah. Langkahnya harus lurus. Tidak boleh tumbang.
Saat dia tiba, ibu memeluk bapak. Seakan tidak ingin melepaskannya. Sementara Nindya, merasa seakan langit yang terang benderang tiba-tiba hujan. Dia mendekati bapak. Dia memohon agar lelaki tua itu terjaga dari tidurnya.
“Bapak, bangun. Ini Nindya. Bapak janji nggak akan pergi sampai Nindya nikah, bukan? Bapak! Bangun!” Nindya menggoyang tubuh bapak. “Bapak. Nindya mohon. Bangun Pak. Lihat Nindya memakai gaun pernikahan. Bapak sudah berjanji akan menjadi wali jika Nindya menikah. Bapak berjanji bahwa bapak sendiri yang akan menikahkan Nindya. Menjabat tangan calon Nindya hingga ada kata sah. Mengapa bapak sekarang berbohong? Mengapa bapak ingkar janji?”
Suara Nindya terhenti. Dia tenggelam dalam isaknya yang menyayat. Segala penyesalan itu datang bersamaan dengan kebencian yang teramat.
Ezar ingin memeluk Nindya. Ingin mengatakan kalimat motivasi. Tapi apa ada gunanya? Apa itu akan merubah sesuatu? Gadis itu tetap rapuh. Akan hancur. Dia mengerti apa yang dirasakannya. Sakit, benci, bahkan kecewa. Permintaan terakhir bapak yang hanya ingin melihat Dziki, tidak terpenuhi. Dia tidak pernah datang untuk mengabulkan permintaan kecil itu.
***
Usai pengajian malam ke tujuh kepergian bapak, ibu memanggil Nindya dan Ezar.
“Nin. Ibu harus mengatakan ini.” Jelas ibu. “Permintaan terakhir bapakmu.”
Nindya berusaha menguasai dirinya. Ada banyak bayangan di benaknya. Bisakah dia mengabulkan pemintaan terakhir kali ini?
“Bapakmu ingin kamu menikah dengan Ezar.” Kata ibu.
Nindya dan Ezar saling memandang. Inikah takdir mereka. Dipertemukan dalam keadaan sulit. Dan dipersatukan dengan cara sulit pula?
“Ibu tahu, kamu masih mencintai Dziki. Tetapi apa kamu masih berharap padanya?” kata ibu. “Kalian berdua bicaralah dulu.”
Ibu meninggalkan mereka.
“Jika tidak bisa melakukannya, tidak apa. Aku mengerti. Biar aku yang menjelaskan kepada ibu.” Kata Ezar.
“Baiklah. Kita lakukan. Demi bapak. Tapi apakah kamu baik-baik saja?” Tanya Nindya.
Ezar terdiam. Dia mengerti maksud Nindya. Pertanyaan jebakan.
Ezar mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. “Jika aku hanya bisa memiliki ragamu, tidak hatimu, itu sudah cukup untukku. Selama aku bisa membahagiakanmu. Menjagamu seperti yang diharapkan bapak. Aku akan baik-baik saja.”
Air mata Nindya berlinang. Lelaki yang ada di hadapannya. Yang tidak pernah mengeluh. Yang bersedia mengantarnya kemanapun. Yang tulus menemani bapak di rumah sakit, mengurusnya dan sekarang memenuhi keinginannya.
Nindya tahu. Ezar akan banyak terluka jika bersamanya. Sekarang dia pun bahkan tak tahu hatinya kemana. Setelah kekecewaan dan kebencian memenuhi hatinya. Bisakah dia memberikan hati yang dipenuhi kebencian itu kepada Ezar yang tulus padanya meski tidak pernah mengatakan ‘aku mencintaimu’?
“Mba, ada tamu.” Tiba-tiba seseorang memberi pesan kepada Nindya.
Nindya beranjak menemui tamunya. Wajah tamu itu sayu. Dingin seperti biasa. Luka-luka yang dulu dilihat Nindya, sekarang bukan apa-apa. Akhirnya dia tidak pernah membuka diri. Tidak pernah membiarkan Nindya masuk dan menyembuhkannya. Dan ini, batas kemampuan Nindya.
“Maafkan aku.” katanya. Kalimat pertama setelah kebencian yang ditinggalkan pada Nindya.
Awalnya Nindya ingin mendengar kata maaf. Hanya itu. Tetapi mengapa sekarang dia membencinya? Mengapa dia membutuhkan penjelasan lebih dari sekadar maaf?
“Aku pernah memintamu datang, tapi bukan untuk terlambat.” Kata Nindya menutup perbincangan malam itu, dan selamanya.
***
“Mau aku temani masuk?” Tanya Ezar saat berada di halaman rumah.
Nindya terdiam. Dia melihat toko bangunan dan halaman yang masih sama. Jika bukan karena permintaan ibu Dziki untuk datang ke rumahnya, tentu dia tidak akan datang.
“Apa tidak masalah?” Tanya Nindya.
Pertanyaan yang selalu sama. Ezar selalu memiliki kebesaran hati untuk memaklumi wanita yang dicintainya. Bahagia atau tidak, dia siap untuk Nindya. Jika pun nanti dia akan menangis, bahu Ezar cukup kuat untuk tempat Nindya bersandar.
Ibu Dziki meminta Nindya masuk. Ditunjukkannya kamar Dziki. Nindya melihat kamar Dziki yang rapi. Tetap, sama. Warna hitam mendominasi.
“Ini kamera Dziki dan album fotonya. Silakan lihat. Ibu akan pergi.” Kata ibu Dziki.
Nindya terbengong. Dia melihat Ezar.
“Mengapa aku harus melakukannya?” Nindya tak ingin mengingat sakit itu. Dia berusaha menghindar. Berpura-pura pada perasaannya sendiri.
Langkahnya dicegah Ezar. “Lakukanlah. Terkadang, ada rahasia yang harus kamu ketahui, meski itu akan melukaimu.”
Nindya tertegun. Rahasia apa? Ada sesuatu yang Ezar ketahui dan dia tidak?
“Tidak apa-apa. Jika nanti terlalu sakit, aku di belakangmu. Berbaliklah. Bahuku akan menopangmu. Tanganku akan menghapus air matamu. Jadi, jangan khawatir.” Kata Ezar.
Perlahan Nindya melangkah ke meja itu. Ada satu bingkai foto yang terbalik, satu album foto, dan satu kamera usang.
Perlahan Nindya membuka kamera itu. Matanya berlinang ketika semua foto di kamera itu adalah foto dirinya. Mulai dari saat dia berteduh di depan toko bangunan hingga foto terakhirnya bersama Dziki. Tangan Nindya gemetaran. Dia membuka foto di bingkai. Foto dirinya dengan Dziki.
Lalu dia beranjak ke album foto. Dilihatnya foto ulang tahun Dziki setiap tahun. Perlahan, dia membuka lembar demi lembar. Hingga dia menyadari ada keanehan dalam foto itu. Kembali dibukanya lembar pertama. Dikeluarkannya foto itu. Ada tulisan di baliknya.
Tahun pertama Dziki. Semoga Dziki bisa melewati tahun kedua, ketiga dan seterusnya. Ibu.
Begitupun di foto-foto berikutnya. Setiap foto menyimpan satu tulisan. Hingga Nindya menemukan doa di foto pertamanya bersama Dziki.
Tahun pertama bersamamu, Nindya. Semoga aku memiliki 100 tahun lagi untuk bersamamu. Dziki.
Kepala Nindya pusing. Kemampuannya terbatas untuk memahami ini. 100 tahun lagi? Apa waktu begitu berharga untuk Dziki? Apa selama ini dia hidup hanya untuk melewati satu tahun demi satu tahun? Ada apa dengan Dziki?
Tahun kedua bersama Nindya. Aku ingin mengabulkan permintaanmu. Tapi aku takut. Allah tidak mengabulkan permintaanku lebih dulu. Dan permintaanku adalah semoga aku bisa mengabulkan permintaanmu.
Gemuruh itu datang tanpa diundang. Menyesakkan dada Nindya. Merenggut kekutannnya. Lembar demi lembar berikutnya hanya ada sepotong foto Dziki. Sementara separuhnya kosong. Seakan sengaja diberi ruang kosong untuk foto yang lain.
Sekarang dan selamanya, “Aku mencintaimu, Nindya.”
Hanya itu yang tertulis. Dia tumbang seketika. Memeluk erat album foto Dziki. Ezar telah siap dengan kekuatannya. Menopang segala kesedihan Nindya. Menjadi sandaran ketika dia tak mampu lagi tegak dan lurus.
Lima menit Nindya berkutat dengan kesakitannya. Hingga akhirnya dia berlari mencari ibu Dziki. Menanyakan dimana Dziki berada. Mengapa dia tidak datang meski dia mencintai Nindya.
 “Hari itu, Dziki ingin datang menemui bapakmu. Dia tidak pernah mengingkari janjinya padamu. Dalam perjalanan, penyakitnya kambuh dan dia mengalami kecelakaan.” Jelas ibu.
“Ada apa dengan Dziki Bu? Apa yang terjadi padanya?”
“Setelah didiagnosa menderita sickle cell diease di usia 6 bulan, ibu tahu hidupnya tak akan lama. Tapi sejak bertemu denganmu. Dia memiliki semangat hidup..” Jelas ibu. “Untuk pertama kalinya ibu melihat dia tersenyum. Dia mendaftarkan diri menjadi penerima donor sum-sum tulang belakang. Tapi Allah berkata lain. Kini dia dalam penjagaan terbaik di sisi Allah. Dia tetap akan mencintaimu Nindya. Ibu bangga padanya karena dia pergi bukan saat kalah melawan penyakitnya, melainkan ketika dia berjuang untuk cintanya.” Ucap ibu.
Nindya tersungkur, “aku pernah mengatakan bahwa dia mengingkari janjinya menemui bapak. Aku pernah mengatakan bahwa dia datang terlambat. Tapi apa…” Nindya menyesali semua, “Akulah yang mengingkari janji, akulah yang datang terlambat. Aku begitu jahat. Aku tidak pantas dimaafkan.”
Ezar memeluk Nindya erat. Dia tahu, sakit teramat itu tak akan pernah hilang. Tetapi, dia memiliki hati untuk menampung segala gelisahnya, sakitnya, bahkan setiap lukanya. Dia tidak akan pernah lari.
***
Foto pernikahan itu terpajang di dinding. Wajah cantik Nindya berpadu dengan wajah Ezar yang menawan. Foto itu diambil 35 tahun lalu. Meski sudah sedikit berdebu. Tetapi masih menjadi bagian terindah di fase ini.
Ezar membenarkan jilbab Nindya, “Dia tidak suka rambut putih, bukan? Pakai jilbab hitam supaya seperti rambut hitam.”
“Baiklah. Buat aku terlihat cantik.” Kata Nindya.
“Tentu saja.” Kata Ezar.
Ezar bersiap mengambil foto Nindya. Dia bukan gadis lagi. Tetapi baginya akan selalu menjadi gadisnya. Dengan kamera usang, dia mengambil foto Nindya.
Ezar pergi sebentar. Kemudian kembali dengan hasil cetakan. Nindya mengambil album foto. Lalu dibukanya foto Dziki dengan tulisan ‘Aku mencintaimu’. Nindya menulis kalimat sama di balik fotonya. Lalu menempelnya menjadi satu. Setelah itu memasukkannya ke dalam album.
Nindya tidak pernah melupakan Dziki. Dia tetap melakukan hal serupa di ulang tahun Dziki, setiap tahunnya. Di balik senja, Nindya akan menikmatinya seperti sebuah foto tanpa luka. Begitupun Ezar. Meski dia tahu bahwa hati Nindya bukan miliknya, tetapi dia akan tetap menjadi bagian di kisah Nindya. Menjadi manusia paling kuat untuk bersandar Nindya dari luka-luka. Menjadi manusia paling dermawan demi memberikan cinta pada hati yang bukan untuknya.
***

Welcome Back

April 26, 2020 0 Comments
Assalamu'alaikum semuanya.
Akhirnya saya bisa kembali lagi dengan blog ini setelah beberapa waktu lalu sempat berhenti karena beberapa alasan. Tapi yang pasti alasannya bukan menikah ya. hehehe

Insya Allah, setelah ini akan sering posting cerita-cerita menarik. Semoga istiqomah. 
Terima kasih. 
Wasalamualaikum.

Kamis, 09 November 2017

Senyum Terakhir Mak Nah

November 09, 2017 0 Comments

Senyum Terakhir Mak Nah

“Jangan dimakan!”teriak Mak Nah sembari memukul tanganku.
Sejenak aku diam. Tak mengerti. Bingung. Dalam waktu yang singkat itu, aku tak sadar apa yang barusan terjadi. Yang kuingat saat itu, tanganku dipukul Mak Nah hingga roti di tanganku terlempar ke siring.