Minggu, 26 April 2020

Eternity Love

Eternity Love
Atsuka D


Suara derai air mata langit gemericik di jalanan dan atap-atap rumah. Seumpama sepatu balet yang menari gemulai di atas pentas. Seumpama melodi melantun di orkestra sang maestro. Langit tidak begitu mendung untuk dikatakan lebat. Petir tidak menyambar disusul teriakan guntur untuk disebut badai. Tetapi cukup membuat Nindya memutuskan berteduh di depan toko bangunan.
Saat berteduh, dia melihat seseorang di sana. Seorang pria dengan jaket kulit coklat dan masker hitam. Nindya menyapanya dengan senyum tipis. Pria itu mengangguk. Dari lekung di sekitar mata, sepertinya dia membalas senyum Nindya.
“Sudah basah kok baru neduh Mba?” Tanya pria itu.
Nindya tersenyum, dia juga sadar akan kebodohannya, “pikirku hujan ringan. Ternyata lumayan. Aku ingat kalau bawa laptop.”
Nindya memalingkan pandangannya. Dia agak canggung. Pasalnya, di depan toko hanya ada dirinya dan pria itu. Sementara toko tersebut tutup. Jalanan di gang kecil tidak terlalu ramai. Mulailah pikiran Nindya berkeliaran.
“Darimana Mba?” Tanya pria itu lagi.
Nindya kaget. “Em dari kampus Mas. Mau pulang ke Fajar Baru.”
Karena jawaban Nindya yang berlebih, suasana canggung terjadi lagi. Seharusnya, Nindya menjawab pulang kerja saja sudah cukup. Sehingga perbincangan akan berlanjut pada pertanyaan selanjutnya, semisal kerja dimana, pulang kemana, atau semacamnya.
Pandangan keduanya canggung menatap jauh ke depan. Di seberang jalan berdiri rumah megah bak istana. Pintu gerbangnya berdiri mentereng. Dari gerbang itu terlihat halaman depan rumah yang dipenuhi berbagai macam jenis tanaman.
Tiba-tiba seseorang keluar dari rumah membawa payung hitam berukuran sedang. Setelah berada di halaman, dia melepas kedua alas kakinya. Dia menjelma peri yang menari diantara hujan. Dia tertawa, menikmati bagaimana hujan menguyurnya.
Nindya tersenyum melihat tingkah pemuda itu. Melihatnya seperti melihat anak-anak yang berlarian bebas. Tertawa lepas. Merasa dirinya teramati, langkahnya terhenti. Matanya tepat bertemu mata Nindya. Keduanya saling menatap.
***
“Mas gimana dong?” gerutu Nindya.
Lelaki itu tersenyum, “Lain kali kalau hujan, langsung neduh. Jangan menunggu basah kuyup dulu, baru neduh.”
Nindya terdiam mengingat dimana dia pernah bertemu lelaki itu, “Oh Mas yang kemarin berteduh di depan toko bangunan? Saya Nindya. Mas…?”
“Ezar.” Jawab Ezar ringan. “Nggak pakai Mas.”
 “Jadi gimana?” Tanya Nindya mengharapkan jawaban jelas tentang kondisi laptopnya. “Bagaimana nasib skripsiku. Aku harus lulus tahun ini. Bapakku sakit.” Terang Nindya ingat bapak yang sedang sakit.
Ezar berpikir sejenak. “Bagaimana kalau menyewa laptopku?” Ezar tersenyum. “Kebetulan aku butuh uang. Jadi gimana kalau laptopnya aku sewakan ke kamu.” Terang Ezar.
“Wah beneran?” kata Nindya dengan mata berbinar-binar. “Terima kasih ya.”
***
Tidak ada mendung di ufuk barat. Sore hampir kembali ke peraduan ketika senja menjelma rupawan. Menikmatinya seperti menemukan sekantong rahasia. Tentang teka-teki kehidupan yang kadang mengejutkan. Nindya adalah manusia paling setia menikmati senja. Motornya berhenti di depan toko Service Komputer.
“Mau kemana?” Tanya Nindya mendapati Ezar mengenakan jaket kulit dan masker. Tepat seperti saat pertama kali mereka bertemu.
“Ada urusan.” Jawab Ezar ringan sembari melepas maskernya. “Baru pulang?”
“Iya.” Nindya berjalan keluar. Lalu duduk di kursi yang disediakan di depan toko.
Sejak peristiwa penyewaan laptop, mereka menjadi dekat. Mengikrarkan diri sebagai sahabat. Ezar selalu menerima keluhan Nindya. Menjadi tempat bagi air mata maupun senyumnya, tanpa mengeluh. Dia satu-satunya orang yang bisa mengantar Nindya kemanapun pergi.
“Lihat.” Kata Nindya menyodorkan brosur. “Aku ingin ikut.”
Ezar membaca sebentar judul brosur itu, “Kalau kamu bisa membagi waktu dan kamu bahagia, aku akan mendukung.” Jawab Ezar.
“Ezar… you are my best friend.” Kata Nindya bahagia.
“Iya, ayo pulang. Aku antar.” Kata Ezar.
Nindya mengangkat ranselnya. Mempersiapkan diri dalam perjalanan baru di fase kehidupannya.
***
Sepuluh menit yang lalu, peserta rekrutmen dikumpulkan di bawah pohon beringin. Kemudian seorang senior mengomando setiap peserta untuk melakukan interview. Kebetulan Nindya bersama Ulya, teman lamanya.
 “Nindya!” nama Nindya dipanggil.
Nindya melangkah maju. Dia disuruh masuk ke saung. Bertemu dengan seorang senior. Mata Nindya memperhatikan lelaki itu. Tiba-tiba terbayang suasana hujan di sebuah gang. Seorang menari diantara hujan dengan riangnya.
“Kenapa tertarik dengan dunia fotografi?” Tanya sang senior.
Nindya menunduk, lalu menjelaskan. “Awalnya melihat instagram A.Zone. Fotonya bagus.”
Sang senior tersenyum ringan. Dia berpikir bahwa Nindya sama seperti orang lain yang berkomentar bagus untuk setiap fotonya. Di telinganya, kalimat Nindya seperti sogokan yang terdengar menjijikan.
“Tapi…” tiba-tiba Nindya meneruskan kalimatnya. Ada keraguan dalam kalimatnya. “Setiap melihat karyanya, aku menemukan luka. Sejak saat itu, aku ingin membuat foto yang bisa menyembuhkan lukanya. Foto kebahagiaan.”
Suasana hening. Sang senior tertegun. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang bisa membaca luka dalam fotonya.
“Jika kamu bertemu orang di balik A.Zone apa yang akan kamu lakukan?” Tanya sang senior.
“Aku berjanji akan menyembuhkan lukanya. Akan kubuat dia bahagia.” Janji Nindya.
Sang senior tersenyum. “Baiklah. Kamu sudah berjanji.” Jelas sang senior.
Nindya mengangguk tanda setuju dengan janjinya.
“Apa yang ditanyakan Kak Dziki?” Tanya Ulya penasaran.
“Biasa.” Jawab Nindya tak memberi gambaran seperti yang diinginkan Ulya. “Kamu kenal senior itu?”
Ulya tertawa, “Bagaimana tidak kenal. Beliau adalah orang di balik A.Zone.”
Nindya terkejut. Dia merasa ingin menghilang dari dunia ini.
***
 Tidak ada lilin ataupun kue di atas meja. Hanya sebuah album foto dan kamera usang.
“Tidak terasa dua tahun kita bersama. Apa kamu masih ingat janjimu?” Tanya Dziki.
“Berjanji menyembuhkan luka Kak Dziki.” Jawab Nindya.
Dziki tersenyum. “Apa kamu tahu aku bercita-cita untuk tidak menjadi tua.”
Nindya tertawa.
“Jika kamu ingin aku menikahimu, aku punya syarat.” Kata Dziki.
Nindya tidak peduli dengan kata syarat. Yang terdengar jelas di telinganya hanya kata menikah. Bapak menyuruhnya menikah segera.
“Berjanjilah untuk tidak menjadi tua.” Kata Dziki mengejutkan Nindya. “Aku benci rambut putih. Aku benci kulit keriput.”
Nindya tersentak. Bagaimana mungkin manusia tidak menjadi tua. Inikah triknya untuk mengatakan kalimat lain seperti ‘aku tidak ingin menikah denganmu’?
“Setiap aku ulang tahun, aku selalu berfoto mengenakan baju hitam?” Dziki membuka album fotonya.
Nindya mengangguk. Dia tahu. Untuk itulah dia datang dengan mengenakan stelan gamis berwarna hitam.
Dziki membuka halaman terakhir yang berisi foto dirinya dan Nindya, “Aku ingin lembar berikutnya adalah foto kita bersama. Apa kamu suka?”
Kepala Nindya pusing. Baru saja Dziki mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah dengan Nindya. Lalu tiba-tiba mengatakan bahwa ingin hidup bersama selamanya. Dia manusia macam apa, pikir Nindya kesal.
 “Bagiku, ulang tahun adalah saat dimana aku paling bersyukur bahwa aku bisa melewati satu tahun umurku. Menghitungnya membuatku senang.” Terang Dziki.
“Kak Dziki ngomong apa?” akhirnya Nindya bertanya karena kepalanya terlalu pusing menerjemahkan kalimat Dziki yang berantakan.
Dziki tersenyum. “Ah sudah lupakan. Kita ambil foto dulu yuk.” Ajak Dziki.
Mereka pun mengambil foto bersama. Tahun kedua kebersamaan mereka.
***
“Apa dia tidak bisa datang sebentar saja?” Tanya ibu kepada Nindya.
Nindya menunduk. Dia sudah menghubungi nomornya berulang-ulang. Tapi tidak aktif. Dia juga sudah mendatangi rumahnya.  Bibinya berkata bahwa Dziki tidak di rumah.
“Bapak hanya ingin bertemu dengan pacarmu sebentar Nin. Tidak bisakah dia diajak ke sini?” ibu memaksa untuk permintaan sepelenya.
 “Nindya coba ya Bu.” Jawab Nindya.
Nindya keluar. Telphonnya tetap tidak diangkat. Nindya tersungkur. Akhirnya dia mengirimi pesan.
Bapak sakit. Dia hanya ingin melihatmu sebentar. Tolong datanglah ke rumah sakit.
Tiba-tiba sebuah pesan balasan masuk. Nindya pun bahagia membaca satu kata. Iya.
***
Nindya berlari tak karuan. Di susul Ezar yang menjaga agar gadis tangguh itu tak goyah. Langkahnya harus lurus. Tidak boleh tumbang.
Saat dia tiba, ibu memeluk bapak. Seakan tidak ingin melepaskannya. Sementara Nindya, merasa seakan langit yang terang benderang tiba-tiba hujan. Dia mendekati bapak. Dia memohon agar lelaki tua itu terjaga dari tidurnya.
“Bapak, bangun. Ini Nindya. Bapak janji nggak akan pergi sampai Nindya nikah, bukan? Bapak! Bangun!” Nindya menggoyang tubuh bapak. “Bapak. Nindya mohon. Bangun Pak. Lihat Nindya memakai gaun pernikahan. Bapak sudah berjanji akan menjadi wali jika Nindya menikah. Bapak berjanji bahwa bapak sendiri yang akan menikahkan Nindya. Menjabat tangan calon Nindya hingga ada kata sah. Mengapa bapak sekarang berbohong? Mengapa bapak ingkar janji?”
Suara Nindya terhenti. Dia tenggelam dalam isaknya yang menyayat. Segala penyesalan itu datang bersamaan dengan kebencian yang teramat.
Ezar ingin memeluk Nindya. Ingin mengatakan kalimat motivasi. Tapi apa ada gunanya? Apa itu akan merubah sesuatu? Gadis itu tetap rapuh. Akan hancur. Dia mengerti apa yang dirasakannya. Sakit, benci, bahkan kecewa. Permintaan terakhir bapak yang hanya ingin melihat Dziki, tidak terpenuhi. Dia tidak pernah datang untuk mengabulkan permintaan kecil itu.
***
Usai pengajian malam ke tujuh kepergian bapak, ibu memanggil Nindya dan Ezar.
“Nin. Ibu harus mengatakan ini.” Jelas ibu. “Permintaan terakhir bapakmu.”
Nindya berusaha menguasai dirinya. Ada banyak bayangan di benaknya. Bisakah dia mengabulkan pemintaan terakhir kali ini?
“Bapakmu ingin kamu menikah dengan Ezar.” Kata ibu.
Nindya dan Ezar saling memandang. Inikah takdir mereka. Dipertemukan dalam keadaan sulit. Dan dipersatukan dengan cara sulit pula?
“Ibu tahu, kamu masih mencintai Dziki. Tetapi apa kamu masih berharap padanya?” kata ibu. “Kalian berdua bicaralah dulu.”
Ibu meninggalkan mereka.
“Jika tidak bisa melakukannya, tidak apa. Aku mengerti. Biar aku yang menjelaskan kepada ibu.” Kata Ezar.
“Baiklah. Kita lakukan. Demi bapak. Tapi apakah kamu baik-baik saja?” Tanya Nindya.
Ezar terdiam. Dia mengerti maksud Nindya. Pertanyaan jebakan.
Ezar mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. “Jika aku hanya bisa memiliki ragamu, tidak hatimu, itu sudah cukup untukku. Selama aku bisa membahagiakanmu. Menjagamu seperti yang diharapkan bapak. Aku akan baik-baik saja.”
Air mata Nindya berlinang. Lelaki yang ada di hadapannya. Yang tidak pernah mengeluh. Yang bersedia mengantarnya kemanapun. Yang tulus menemani bapak di rumah sakit, mengurusnya dan sekarang memenuhi keinginannya.
Nindya tahu. Ezar akan banyak terluka jika bersamanya. Sekarang dia pun bahkan tak tahu hatinya kemana. Setelah kekecewaan dan kebencian memenuhi hatinya. Bisakah dia memberikan hati yang dipenuhi kebencian itu kepada Ezar yang tulus padanya meski tidak pernah mengatakan ‘aku mencintaimu’?
“Mba, ada tamu.” Tiba-tiba seseorang memberi pesan kepada Nindya.
Nindya beranjak menemui tamunya. Wajah tamu itu sayu. Dingin seperti biasa. Luka-luka yang dulu dilihat Nindya, sekarang bukan apa-apa. Akhirnya dia tidak pernah membuka diri. Tidak pernah membiarkan Nindya masuk dan menyembuhkannya. Dan ini, batas kemampuan Nindya.
“Maafkan aku.” katanya. Kalimat pertama setelah kebencian yang ditinggalkan pada Nindya.
Awalnya Nindya ingin mendengar kata maaf. Hanya itu. Tetapi mengapa sekarang dia membencinya? Mengapa dia membutuhkan penjelasan lebih dari sekadar maaf?
“Aku pernah memintamu datang, tapi bukan untuk terlambat.” Kata Nindya menutup perbincangan malam itu, dan selamanya.
***
“Mau aku temani masuk?” Tanya Ezar saat berada di halaman rumah.
Nindya terdiam. Dia melihat toko bangunan dan halaman yang masih sama. Jika bukan karena permintaan ibu Dziki untuk datang ke rumahnya, tentu dia tidak akan datang.
“Apa tidak masalah?” Tanya Nindya.
Pertanyaan yang selalu sama. Ezar selalu memiliki kebesaran hati untuk memaklumi wanita yang dicintainya. Bahagia atau tidak, dia siap untuk Nindya. Jika pun nanti dia akan menangis, bahu Ezar cukup kuat untuk tempat Nindya bersandar.
Ibu Dziki meminta Nindya masuk. Ditunjukkannya kamar Dziki. Nindya melihat kamar Dziki yang rapi. Tetap, sama. Warna hitam mendominasi.
“Ini kamera Dziki dan album fotonya. Silakan lihat. Ibu akan pergi.” Kata ibu Dziki.
Nindya terbengong. Dia melihat Ezar.
“Mengapa aku harus melakukannya?” Nindya tak ingin mengingat sakit itu. Dia berusaha menghindar. Berpura-pura pada perasaannya sendiri.
Langkahnya dicegah Ezar. “Lakukanlah. Terkadang, ada rahasia yang harus kamu ketahui, meski itu akan melukaimu.”
Nindya tertegun. Rahasia apa? Ada sesuatu yang Ezar ketahui dan dia tidak?
“Tidak apa-apa. Jika nanti terlalu sakit, aku di belakangmu. Berbaliklah. Bahuku akan menopangmu. Tanganku akan menghapus air matamu. Jadi, jangan khawatir.” Kata Ezar.
Perlahan Nindya melangkah ke meja itu. Ada satu bingkai foto yang terbalik, satu album foto, dan satu kamera usang.
Perlahan Nindya membuka kamera itu. Matanya berlinang ketika semua foto di kamera itu adalah foto dirinya. Mulai dari saat dia berteduh di depan toko bangunan hingga foto terakhirnya bersama Dziki. Tangan Nindya gemetaran. Dia membuka foto di bingkai. Foto dirinya dengan Dziki.
Lalu dia beranjak ke album foto. Dilihatnya foto ulang tahun Dziki setiap tahun. Perlahan, dia membuka lembar demi lembar. Hingga dia menyadari ada keanehan dalam foto itu. Kembali dibukanya lembar pertama. Dikeluarkannya foto itu. Ada tulisan di baliknya.
Tahun pertama Dziki. Semoga Dziki bisa melewati tahun kedua, ketiga dan seterusnya. Ibu.
Begitupun di foto-foto berikutnya. Setiap foto menyimpan satu tulisan. Hingga Nindya menemukan doa di foto pertamanya bersama Dziki.
Tahun pertama bersamamu, Nindya. Semoga aku memiliki 100 tahun lagi untuk bersamamu. Dziki.
Kepala Nindya pusing. Kemampuannya terbatas untuk memahami ini. 100 tahun lagi? Apa waktu begitu berharga untuk Dziki? Apa selama ini dia hidup hanya untuk melewati satu tahun demi satu tahun? Ada apa dengan Dziki?
Tahun kedua bersama Nindya. Aku ingin mengabulkan permintaanmu. Tapi aku takut. Allah tidak mengabulkan permintaanku lebih dulu. Dan permintaanku adalah semoga aku bisa mengabulkan permintaanmu.
Gemuruh itu datang tanpa diundang. Menyesakkan dada Nindya. Merenggut kekutannnya. Lembar demi lembar berikutnya hanya ada sepotong foto Dziki. Sementara separuhnya kosong. Seakan sengaja diberi ruang kosong untuk foto yang lain.
Sekarang dan selamanya, “Aku mencintaimu, Nindya.”
Hanya itu yang tertulis. Dia tumbang seketika. Memeluk erat album foto Dziki. Ezar telah siap dengan kekuatannya. Menopang segala kesedihan Nindya. Menjadi sandaran ketika dia tak mampu lagi tegak dan lurus.
Lima menit Nindya berkutat dengan kesakitannya. Hingga akhirnya dia berlari mencari ibu Dziki. Menanyakan dimana Dziki berada. Mengapa dia tidak datang meski dia mencintai Nindya.
 “Hari itu, Dziki ingin datang menemui bapakmu. Dia tidak pernah mengingkari janjinya padamu. Dalam perjalanan, penyakitnya kambuh dan dia mengalami kecelakaan.” Jelas ibu.
“Ada apa dengan Dziki Bu? Apa yang terjadi padanya?”
“Setelah didiagnosa menderita sickle cell diease di usia 6 bulan, ibu tahu hidupnya tak akan lama. Tapi sejak bertemu denganmu. Dia memiliki semangat hidup..” Jelas ibu. “Untuk pertama kalinya ibu melihat dia tersenyum. Dia mendaftarkan diri menjadi penerima donor sum-sum tulang belakang. Tapi Allah berkata lain. Kini dia dalam penjagaan terbaik di sisi Allah. Dia tetap akan mencintaimu Nindya. Ibu bangga padanya karena dia pergi bukan saat kalah melawan penyakitnya, melainkan ketika dia berjuang untuk cintanya.” Ucap ibu.
Nindya tersungkur, “aku pernah mengatakan bahwa dia mengingkari janjinya menemui bapak. Aku pernah mengatakan bahwa dia datang terlambat. Tapi apa…” Nindya menyesali semua, “Akulah yang mengingkari janji, akulah yang datang terlambat. Aku begitu jahat. Aku tidak pantas dimaafkan.”
Ezar memeluk Nindya erat. Dia tahu, sakit teramat itu tak akan pernah hilang. Tetapi, dia memiliki hati untuk menampung segala gelisahnya, sakitnya, bahkan setiap lukanya. Dia tidak akan pernah lari.
***
Foto pernikahan itu terpajang di dinding. Wajah cantik Nindya berpadu dengan wajah Ezar yang menawan. Foto itu diambil 35 tahun lalu. Meski sudah sedikit berdebu. Tetapi masih menjadi bagian terindah di fase ini.
Ezar membenarkan jilbab Nindya, “Dia tidak suka rambut putih, bukan? Pakai jilbab hitam supaya seperti rambut hitam.”
“Baiklah. Buat aku terlihat cantik.” Kata Nindya.
“Tentu saja.” Kata Ezar.
Ezar bersiap mengambil foto Nindya. Dia bukan gadis lagi. Tetapi baginya akan selalu menjadi gadisnya. Dengan kamera usang, dia mengambil foto Nindya.
Ezar pergi sebentar. Kemudian kembali dengan hasil cetakan. Nindya mengambil album foto. Lalu dibukanya foto Dziki dengan tulisan ‘Aku mencintaimu’. Nindya menulis kalimat sama di balik fotonya. Lalu menempelnya menjadi satu. Setelah itu memasukkannya ke dalam album.
Nindya tidak pernah melupakan Dziki. Dia tetap melakukan hal serupa di ulang tahun Dziki, setiap tahunnya. Di balik senja, Nindya akan menikmatinya seperti sebuah foto tanpa luka. Begitupun Ezar. Meski dia tahu bahwa hati Nindya bukan miliknya, tetapi dia akan tetap menjadi bagian di kisah Nindya. Menjadi manusia paling kuat untuk bersandar Nindya dari luka-luka. Menjadi manusia paling dermawan demi memberikan cinta pada hati yang bukan untuknya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar