Eternity Love
Atsuka D
Suara
derai air mata langit gemericik di jalanan dan atap-atap rumah. Seumpama sepatu
balet yang menari gemulai di atas pentas. Seumpama melodi melantun di orkestra
sang maestro. Langit tidak begitu mendung untuk dikatakan lebat. Petir tidak
menyambar disusul teriakan guntur untuk disebut badai. Tetapi cukup membuat
Nindya memutuskan berteduh di depan toko bangunan.
Saat
berteduh, dia melihat seseorang di sana. Seorang pria dengan jaket kulit coklat
dan masker hitam. Nindya menyapanya dengan senyum tipis. Pria itu mengangguk.
Dari lekung di sekitar mata, sepertinya dia membalas senyum Nindya.
“Sudah
basah kok baru neduh Mba?” Tanya pria itu.
Nindya
tersenyum, dia juga sadar akan kebodohannya, “pikirku hujan ringan. Ternyata
lumayan. Aku ingat kalau bawa laptop.”
Nindya
memalingkan pandangannya. Dia agak canggung. Pasalnya, di depan toko hanya ada
dirinya dan pria itu. Sementara toko tersebut tutup. Jalanan di gang kecil
tidak terlalu ramai. Mulailah pikiran Nindya berkeliaran.
“Darimana
Mba?” Tanya pria itu lagi.
Nindya
kaget. “Em dari kampus Mas. Mau pulang ke Fajar Baru.”
Karena
jawaban Nindya yang berlebih, suasana canggung terjadi lagi. Seharusnya, Nindya
menjawab pulang kerja saja sudah cukup. Sehingga perbincangan akan berlanjut
pada pertanyaan selanjutnya, semisal kerja dimana, pulang kemana, atau
semacamnya.
Pandangan
keduanya canggung menatap jauh ke depan. Di seberang jalan berdiri rumah megah
bak istana. Pintu gerbangnya berdiri mentereng. Dari gerbang itu terlihat
halaman depan rumah yang dipenuhi berbagai macam jenis tanaman.
Tiba-tiba
seseorang keluar dari rumah membawa payung hitam berukuran sedang. Setelah
berada di halaman, dia melepas kedua alas kakinya. Dia menjelma peri yang
menari diantara hujan. Dia tertawa, menikmati bagaimana hujan menguyurnya.
Nindya
tersenyum melihat tingkah pemuda itu. Melihatnya seperti melihat anak-anak yang
berlarian bebas. Tertawa lepas. Merasa dirinya teramati, langkahnya terhenti.
Matanya tepat bertemu mata Nindya. Keduanya saling menatap.
***
“Mas
gimana dong?” gerutu Nindya.
Lelaki
itu tersenyum, “Lain kali kalau hujan, langsung neduh. Jangan menunggu basah
kuyup dulu, baru neduh.”
Nindya
terdiam mengingat dimana dia pernah bertemu lelaki itu, “Oh Mas yang kemarin berteduh
di depan toko bangunan? Saya Nindya. Mas…?”
“Ezar.”
Jawab Ezar ringan. “Nggak pakai Mas.”
“Jadi gimana?” Tanya Nindya mengharapkan
jawaban jelas tentang kondisi laptopnya. “Bagaimana nasib skripsiku. Aku harus
lulus tahun ini. Bapakku sakit.” Terang Nindya ingat bapak yang sedang sakit.
Ezar
berpikir sejenak. “Bagaimana kalau menyewa laptopku?” Ezar tersenyum. “Kebetulan
aku butuh uang. Jadi gimana kalau laptopnya aku sewakan ke kamu.” Terang Ezar.
“Wah
beneran?” kata Nindya dengan mata berbinar-binar. “Terima kasih ya.”
***
Tidak
ada mendung di ufuk barat. Sore hampir kembali ke peraduan ketika senja
menjelma rupawan. Menikmatinya seperti menemukan sekantong rahasia. Tentang
teka-teki kehidupan yang kadang mengejutkan. Nindya adalah manusia paling setia
menikmati senja. Motornya berhenti di depan toko Service Komputer.
“Mau
kemana?” Tanya Nindya mendapati Ezar mengenakan jaket kulit dan masker. Tepat
seperti saat pertama kali mereka bertemu.
“Ada
urusan.” Jawab Ezar ringan sembari melepas maskernya. “Baru pulang?”
“Iya.”
Nindya berjalan keluar. Lalu duduk di kursi yang disediakan di depan toko.
Sejak
peristiwa penyewaan laptop, mereka menjadi dekat. Mengikrarkan diri sebagai
sahabat. Ezar selalu menerima keluhan Nindya. Menjadi tempat bagi air mata
maupun senyumnya, tanpa mengeluh. Dia satu-satunya orang yang bisa mengantar
Nindya kemanapun pergi.
“Lihat.”
Kata Nindya menyodorkan brosur. “Aku ingin ikut.”
Ezar
membaca sebentar judul brosur itu, “Kalau kamu bisa membagi waktu dan kamu
bahagia, aku akan mendukung.” Jawab Ezar.
“Ezar…
you are my best friend.” Kata Nindya
bahagia.
“Iya,
ayo pulang. Aku antar.” Kata Ezar.
Nindya
mengangkat ranselnya. Mempersiapkan diri dalam perjalanan baru di fase
kehidupannya.
***
Sepuluh
menit yang lalu, peserta rekrutmen dikumpulkan di bawah pohon beringin.
Kemudian seorang senior mengomando setiap peserta untuk melakukan interview.
Kebetulan Nindya bersama Ulya, teman lamanya.
“Nindya!” nama Nindya dipanggil.
Nindya
melangkah maju. Dia disuruh masuk ke saung. Bertemu dengan seorang senior. Mata
Nindya memperhatikan lelaki itu. Tiba-tiba terbayang suasana hujan di sebuah
gang. Seorang menari diantara hujan dengan riangnya.
“Kenapa
tertarik dengan dunia fotografi?” Tanya sang senior.
Nindya
menunduk, lalu menjelaskan. “Awalnya melihat instagram A.Zone. Fotonya bagus.”
Sang
senior tersenyum ringan. Dia berpikir bahwa Nindya sama seperti orang lain yang
berkomentar bagus untuk setiap fotonya. Di telinganya, kalimat Nindya seperti sogokan
yang terdengar menjijikan.
“Tapi…”
tiba-tiba Nindya meneruskan kalimatnya. Ada keraguan dalam kalimatnya. “Setiap
melihat karyanya, aku menemukan luka. Sejak saat itu, aku ingin membuat foto
yang bisa menyembuhkan lukanya. Foto kebahagiaan.”
Suasana
hening. Sang senior tertegun. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang bisa
membaca luka dalam fotonya.
“Jika
kamu bertemu orang di balik A.Zone apa yang akan kamu lakukan?” Tanya sang senior.
“Aku
berjanji akan menyembuhkan lukanya. Akan kubuat dia bahagia.” Janji Nindya.
Sang
senior tersenyum. “Baiklah. Kamu sudah berjanji.” Jelas sang senior.
Nindya
mengangguk tanda setuju dengan janjinya.
“Apa
yang ditanyakan Kak Dziki?” Tanya Ulya penasaran.
“Biasa.”
Jawab Nindya tak memberi gambaran seperti yang diinginkan Ulya. “Kamu kenal
senior itu?”
Ulya
tertawa, “Bagaimana tidak kenal. Beliau adalah orang di balik A.Zone.”
Nindya
terkejut. Dia merasa ingin menghilang dari dunia ini.
***
Tidak ada lilin ataupun kue di atas meja.
Hanya sebuah album foto dan kamera usang.
“Tidak
terasa dua tahun kita bersama. Apa kamu masih ingat janjimu?” Tanya Dziki.
“Berjanji
menyembuhkan luka Kak Dziki.” Jawab Nindya.
Dziki
tersenyum. “Apa kamu tahu aku bercita-cita untuk tidak menjadi tua.”
Nindya
tertawa.
“Jika
kamu ingin aku menikahimu, aku punya syarat.” Kata Dziki.
Nindya
tidak peduli dengan kata syarat. Yang terdengar jelas di telinganya hanya kata
menikah. Bapak menyuruhnya menikah segera.
“Berjanjilah
untuk tidak menjadi tua.” Kata Dziki mengejutkan Nindya. “Aku benci rambut
putih. Aku benci kulit keriput.”
Nindya
tersentak. Bagaimana mungkin manusia tidak menjadi tua. Inikah triknya untuk
mengatakan kalimat lain seperti ‘aku tidak ingin menikah denganmu’?
“Setiap
aku ulang tahun, aku selalu berfoto mengenakan baju hitam?” Dziki membuka album
fotonya.
Nindya
mengangguk. Dia tahu. Untuk itulah dia datang dengan mengenakan stelan gamis
berwarna hitam.
Dziki
membuka halaman terakhir yang berisi foto dirinya dan Nindya, “Aku ingin lembar
berikutnya adalah foto kita bersama. Apa kamu suka?”
Kepala
Nindya pusing. Baru saja Dziki mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah dengan
Nindya. Lalu tiba-tiba mengatakan bahwa ingin hidup bersama selamanya. Dia
manusia macam apa, pikir Nindya kesal.
“Bagiku, ulang tahun adalah saat dimana aku
paling bersyukur bahwa aku bisa melewati satu tahun umurku. Menghitungnya
membuatku senang.” Terang Dziki.
“Kak
Dziki ngomong apa?” akhirnya Nindya bertanya karena kepalanya terlalu pusing
menerjemahkan kalimat Dziki yang berantakan.
Dziki
tersenyum. “Ah sudah lupakan. Kita ambil foto dulu yuk.” Ajak Dziki.
Mereka
pun mengambil foto bersama. Tahun kedua kebersamaan mereka.
***
“Apa
dia tidak bisa datang sebentar saja?” Tanya ibu kepada Nindya.
Nindya
menunduk. Dia sudah menghubungi nomornya berulang-ulang. Tapi tidak aktif. Dia
juga sudah mendatangi rumahnya. Bibinya
berkata bahwa Dziki tidak di rumah.
“Bapak
hanya ingin bertemu dengan pacarmu sebentar Nin. Tidak bisakah dia diajak ke
sini?” ibu memaksa untuk permintaan sepelenya.
“Nindya coba ya Bu.” Jawab Nindya.
Nindya
keluar. Telphonnya tetap tidak diangkat. Nindya tersungkur. Akhirnya dia
mengirimi pesan.
Bapak sakit. Dia hanya ingin melihatmu
sebentar. Tolong datanglah ke rumah sakit.
Tiba-tiba
sebuah pesan balasan masuk. Nindya pun bahagia membaca satu kata. Iya.
***
Nindya
berlari tak karuan. Di susul Ezar yang menjaga agar gadis tangguh itu tak
goyah. Langkahnya harus lurus. Tidak boleh tumbang.
Saat
dia tiba, ibu memeluk bapak. Seakan tidak ingin melepaskannya. Sementara
Nindya, merasa seakan langit yang terang benderang tiba-tiba hujan. Dia
mendekati bapak. Dia memohon agar lelaki tua itu terjaga dari tidurnya.
“Bapak,
bangun. Ini Nindya. Bapak janji nggak akan pergi sampai Nindya nikah, bukan?
Bapak! Bangun!” Nindya menggoyang tubuh bapak. “Bapak. Nindya mohon. Bangun
Pak. Lihat Nindya memakai gaun pernikahan. Bapak sudah berjanji akan menjadi
wali jika Nindya menikah. Bapak berjanji bahwa bapak sendiri yang akan
menikahkan Nindya. Menjabat tangan calon Nindya hingga ada kata sah. Mengapa
bapak sekarang berbohong? Mengapa bapak ingkar janji?”
Suara
Nindya terhenti. Dia tenggelam dalam isaknya yang menyayat. Segala penyesalan
itu datang bersamaan dengan kebencian yang teramat.
Ezar
ingin memeluk Nindya. Ingin mengatakan kalimat motivasi. Tapi apa ada gunanya?
Apa itu akan merubah sesuatu? Gadis itu tetap rapuh. Akan hancur. Dia mengerti
apa yang dirasakannya. Sakit, benci, bahkan kecewa. Permintaan terakhir bapak
yang hanya ingin melihat Dziki, tidak terpenuhi. Dia tidak pernah datang untuk
mengabulkan permintaan kecil itu.
***
Usai
pengajian malam ke tujuh kepergian bapak, ibu memanggil Nindya dan Ezar.
“Nin.
Ibu harus mengatakan ini.” Jelas ibu. “Permintaan terakhir bapakmu.”
Nindya
berusaha menguasai dirinya. Ada banyak bayangan di benaknya. Bisakah dia
mengabulkan pemintaan terakhir kali ini?
“Bapakmu
ingin kamu menikah dengan Ezar.” Kata ibu.
Nindya
dan Ezar saling memandang. Inikah takdir mereka. Dipertemukan dalam keadaan
sulit. Dan dipersatukan dengan cara sulit pula?
“Ibu
tahu, kamu masih mencintai Dziki. Tetapi apa kamu masih berharap padanya?” kata
ibu. “Kalian berdua bicaralah dulu.”
Ibu
meninggalkan mereka.
“Jika
tidak bisa melakukannya, tidak apa. Aku mengerti. Biar aku yang menjelaskan
kepada ibu.” Kata Ezar.
“Baiklah.
Kita lakukan. Demi bapak. Tapi apakah kamu baik-baik saja?” Tanya Nindya.
Ezar
terdiam. Dia mengerti maksud Nindya. Pertanyaan jebakan.
Ezar
mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. “Jika aku hanya bisa memiliki ragamu,
tidak hatimu, itu sudah cukup untukku. Selama aku bisa membahagiakanmu.
Menjagamu seperti yang diharapkan bapak. Aku akan baik-baik saja.”
Air
mata Nindya berlinang. Lelaki yang ada di hadapannya. Yang tidak pernah
mengeluh. Yang bersedia mengantarnya kemanapun. Yang tulus menemani bapak di
rumah sakit, mengurusnya dan sekarang memenuhi keinginannya.
Nindya
tahu. Ezar akan banyak terluka jika bersamanya. Sekarang dia pun bahkan tak
tahu hatinya kemana. Setelah kekecewaan dan kebencian memenuhi hatinya. Bisakah
dia memberikan hati yang dipenuhi kebencian itu kepada Ezar yang tulus padanya
meski tidak pernah mengatakan ‘aku mencintaimu’?
“Mba,
ada tamu.” Tiba-tiba seseorang memberi pesan kepada Nindya.
Nindya
beranjak menemui tamunya. Wajah tamu itu sayu. Dingin seperti biasa. Luka-luka
yang dulu dilihat Nindya, sekarang bukan apa-apa. Akhirnya dia tidak pernah
membuka diri. Tidak pernah membiarkan Nindya masuk dan menyembuhkannya. Dan
ini, batas kemampuan Nindya.
“Maafkan
aku.” katanya. Kalimat pertama setelah kebencian yang ditinggalkan pada Nindya.
Awalnya
Nindya ingin mendengar kata maaf. Hanya itu. Tetapi mengapa sekarang dia
membencinya? Mengapa dia membutuhkan penjelasan lebih dari sekadar maaf?
“Aku
pernah memintamu datang, tapi bukan untuk terlambat.” Kata Nindya menutup
perbincangan malam itu, dan selamanya.
***
“Mau
aku temani masuk?” Tanya Ezar saat berada di halaman rumah.
Nindya
terdiam. Dia melihat toko bangunan dan halaman yang masih sama. Jika bukan
karena permintaan ibu Dziki untuk datang ke rumahnya, tentu dia tidak akan
datang.
“Apa
tidak masalah?” Tanya Nindya.
Pertanyaan
yang selalu sama. Ezar selalu memiliki kebesaran hati untuk memaklumi wanita
yang dicintainya. Bahagia atau tidak, dia siap untuk Nindya. Jika pun nanti dia
akan menangis, bahu Ezar cukup kuat untuk tempat Nindya bersandar.
Ibu
Dziki meminta Nindya masuk. Ditunjukkannya kamar Dziki. Nindya melihat kamar
Dziki yang rapi. Tetap, sama. Warna hitam mendominasi.
“Ini
kamera Dziki dan album fotonya. Silakan lihat. Ibu akan pergi.” Kata ibu Dziki.
Nindya
terbengong. Dia melihat Ezar.
“Mengapa
aku harus melakukannya?” Nindya tak ingin mengingat sakit itu. Dia berusaha
menghindar. Berpura-pura pada perasaannya sendiri.
Langkahnya
dicegah Ezar. “Lakukanlah. Terkadang, ada rahasia yang harus kamu ketahui,
meski itu akan melukaimu.”
Nindya
tertegun. Rahasia apa? Ada sesuatu yang Ezar ketahui dan dia tidak?
“Tidak
apa-apa. Jika nanti terlalu sakit, aku di belakangmu. Berbaliklah. Bahuku akan
menopangmu. Tanganku akan menghapus air matamu. Jadi, jangan khawatir.” Kata
Ezar.
Perlahan
Nindya melangkah ke meja itu. Ada satu bingkai foto yang terbalik, satu album
foto, dan satu kamera usang.
Perlahan
Nindya membuka kamera itu. Matanya berlinang ketika semua foto di kamera itu
adalah foto dirinya. Mulai dari saat dia berteduh di depan toko bangunan hingga
foto terakhirnya bersama Dziki. Tangan Nindya gemetaran. Dia membuka foto di
bingkai. Foto dirinya dengan Dziki.
Lalu
dia beranjak ke album foto. Dilihatnya foto ulang tahun Dziki setiap tahun.
Perlahan, dia membuka lembar demi lembar. Hingga dia menyadari ada keanehan
dalam foto itu. Kembali dibukanya lembar pertama. Dikeluarkannya foto itu. Ada
tulisan di baliknya.
Tahun pertama Dziki. Semoga Dziki bisa
melewati tahun kedua, ketiga dan seterusnya. Ibu.
Begitupun
di foto-foto berikutnya. Setiap foto menyimpan satu tulisan. Hingga Nindya
menemukan doa di foto pertamanya bersama Dziki.
Tahun pertama bersamamu, Nindya. Semoga
aku memiliki 100 tahun lagi untuk bersamamu. Dziki.
Kepala
Nindya pusing. Kemampuannya terbatas untuk memahami ini. 100 tahun lagi? Apa
waktu begitu berharga untuk Dziki? Apa selama ini dia hidup hanya untuk
melewati satu tahun demi satu tahun? Ada apa dengan Dziki?
Tahun kedua bersama Nindya. Aku ingin
mengabulkan permintaanmu. Tapi aku takut. Allah tidak mengabulkan permintaanku
lebih dulu. Dan permintaanku adalah semoga aku bisa mengabulkan permintaanmu.
Gemuruh
itu datang tanpa diundang. Menyesakkan dada Nindya. Merenggut kekutannnya. Lembar
demi lembar berikutnya hanya ada sepotong foto Dziki. Sementara separuhnya
kosong. Seakan sengaja diberi ruang kosong untuk foto yang lain.
Sekarang dan selamanya, “Aku
mencintaimu, Nindya.”
Hanya
itu yang tertulis. Dia tumbang seketika. Memeluk erat album foto Dziki. Ezar
telah siap dengan kekuatannya. Menopang segala kesedihan Nindya. Menjadi
sandaran ketika dia tak mampu lagi tegak dan lurus.
Lima
menit Nindya berkutat dengan kesakitannya. Hingga akhirnya dia berlari mencari
ibu Dziki. Menanyakan dimana Dziki berada. Mengapa dia tidak datang meski dia
mencintai Nindya.
“Hari itu, Dziki ingin datang menemui bapakmu.
Dia tidak pernah mengingkari janjinya padamu. Dalam perjalanan, penyakitnya
kambuh dan dia mengalami kecelakaan.” Jelas ibu.
“Ada
apa dengan Dziki Bu? Apa yang terjadi padanya?”
“Setelah
didiagnosa menderita sickle cell diease
di usia 6 bulan, ibu tahu hidupnya tak akan lama. Tapi sejak bertemu denganmu.
Dia memiliki semangat hidup..” Jelas ibu. “Untuk pertama kalinya ibu melihat
dia tersenyum. Dia mendaftarkan diri menjadi penerima donor sum-sum tulang
belakang. Tapi Allah berkata lain. Kini dia dalam penjagaan terbaik di sisi
Allah. Dia tetap akan mencintaimu Nindya. Ibu bangga padanya karena dia pergi
bukan saat kalah melawan penyakitnya, melainkan ketika dia berjuang untuk
cintanya.” Ucap ibu.
Nindya
tersungkur, “aku pernah mengatakan bahwa dia mengingkari janjinya menemui
bapak. Aku pernah mengatakan bahwa dia datang terlambat. Tapi apa…” Nindya
menyesali semua, “Akulah yang mengingkari janji, akulah yang datang terlambat.
Aku begitu jahat. Aku tidak pantas dimaafkan.”
Ezar
memeluk Nindya erat. Dia tahu, sakit teramat itu tak akan pernah hilang.
Tetapi, dia memiliki hati untuk menampung segala gelisahnya, sakitnya, bahkan
setiap lukanya. Dia tidak akan pernah lari.
***
Foto
pernikahan itu terpajang di dinding. Wajah cantik Nindya berpadu dengan wajah
Ezar yang menawan. Foto itu diambil 35 tahun lalu. Meski sudah sedikit berdebu.
Tetapi masih menjadi bagian terindah di fase ini.
Ezar
membenarkan jilbab Nindya, “Dia tidak suka rambut putih, bukan? Pakai jilbab
hitam supaya seperti rambut hitam.”
“Baiklah.
Buat aku terlihat cantik.” Kata Nindya.
“Tentu
saja.” Kata Ezar.
Ezar
bersiap mengambil foto Nindya. Dia bukan gadis lagi. Tetapi baginya akan selalu
menjadi gadisnya. Dengan kamera usang, dia mengambil foto Nindya.
Ezar
pergi sebentar. Kemudian kembali dengan hasil cetakan. Nindya mengambil album
foto. Lalu dibukanya foto Dziki dengan tulisan ‘Aku mencintaimu’. Nindya menulis
kalimat sama di balik fotonya. Lalu menempelnya menjadi satu. Setelah itu
memasukkannya ke dalam album.
Nindya
tidak pernah melupakan Dziki. Dia tetap melakukan hal serupa di ulang tahun Dziki,
setiap tahunnya. Di balik senja, Nindya akan menikmatinya seperti sebuah foto
tanpa luka. Begitupun Ezar. Meski dia tahu bahwa hati Nindya bukan miliknya,
tetapi dia akan tetap menjadi bagian di kisah Nindya. Menjadi manusia paling
kuat untuk bersandar Nindya dari luka-luka. Menjadi manusia paling dermawan
demi memberikan cinta pada hati yang bukan untuknya.
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar