Senyum Terakhir Mak Nah
“Jangan dimakan!”teriak Mak Nah sembari
memukul tanganku.
Sejenak aku diam. Tak mengerti. Bingung. Dalam
waktu yang singkat itu, aku tak sadar apa yang barusan terjadi. Yang kuingat
saat itu, tanganku dipukul Mak Nah hingga roti di tanganku terlempar ke siring.
Aku masih termenung. Aku bahkan tak mampu
mengatakan apapun. Yang bisa kulakukan saat itu hanya mengadu tatapan dengan
Mak Nah. Sampai akhirnya Mak Nah mengalah. Dengan cepat Mak Nah menggendong anaknya.
Lalu dibawanya pergi.
Seketika, kualihkan pandanganku ke siring.
Roti yang tadi sempat kugenggam sudah berwarna hitam terendam air siring yang
kotor. Aku menghela nafas. Bukan itu yang aku sesalkan. Bukan pada roti berisi
kacang yang berakhir mengenaskan. Aku hanya tak mengerti mengapa tanganku
dipukul Mak Nah? Apa salahku? Bukankah aku tidak melakukan hal-hal buruk pada
anaknya? Aku hanya memberikan roti kacang kesukaanku pada anaknya. Lantas
mengapa aku dipukulnya?
“Jangan dipikirkan. Mak Nah memang seperti
itu”
Tiba-tiba May muncul, menepuk pundakku. Lalu
tersenyum polos. Kuusahakan tersenyum juga. Setidaknya berpura-pura untuk
mengerti. Meski sebenarnya hatiku justru bertanya-tanya. Mengapa? Ada apa?
“Ayo kembali kerja. Nanti kita telat. Kau tahu
bagaimana bos kita marah-marah kan?”ajak May menyadarkanku.
Belum sempat kujawab “iya”, May menarik
tanganku. Terpaksa aku mengikuti langkahnya hingga tiba di mini market tepat
berada di sudut perempatan jalan menuju pasar.
Saat kami masuk, May langsung ditarik Reyhan.
Keduanya berbisik sembari melirikku sesekali. Aku yakin, May tidak sedang
mengompromi Reyhan soal keterlambatan kami. Mereka pasti membicarakanku. Tapi
aku tak peduli. Aku langsung bersiap memasang senyum di balik meja kasir.
Sepanjang hari ini aku bekerja dengan cukup
baik. Setidaknya cukup baik untuk tersenyum pada para pelanggan. Meski
pikiranku sebenarnya tidak sedang disana. Berulang kali kepalaku secara spontan
menoleh ke luar kaca. Mataku menatap gerobak gorengan yang tergeletak di depan
mini market. Gerobak itu kosong. Padahal biasanya ramai. Kemana Mak Nah? Apa
karena kejadian tadi, Mak Nah tidak mau jualan? Apa Mak Nah benar-benar marah
padaku?
“Jangan dipikirkan”
Tiba-tiba Reyhan muncul. Sempat kupikir kalau
itu May. Pasalnya, kalimat Reyhan dan May sama. Atau May menyuruh Reyhan
mengatakan kalimat yang sama itu kepadaku? Ah entah apa yang sebenarnya
dipikirkan mereka soal aku dan Mak Nah?
“Mak Nah memang seperti itu. Aku juga pernah
dipukul Mak Nah”cerita Reyhan.
Entah harus kurespon apa? Bisakah aku melakukan
seperti yang dikatakan May dan Reyhan untuk tidak peduli pada Mak Nah dan
anaknya? Haruskah aku ‘tidak memikirkannya’?
“Kau kan baru satu minggu disini. Aku dan May
sudah bertahun-tahun. Kami sudah hafal dengan sifat Mak Nah”
Kali ini aku melirik Reyhan. Benar, aku baru
satu minggu bekerja di sini. Sepertinya, hanya aku yang peduli pada Mak Nah.
Entah mungkin Reyhan benar, karena aku orang baru disini dan tak tahu apa-apa
sehingga aku menaruh simpati pada anak yang selalu berdiri menatap mini market
dari seberang jalan.
“Lalu apa yang terjadi pada Mak Nah? Mengapa
Mak Nah berlaku seperti itu?”
Reyhan tersenyum. Sejujurnya aku tidak tahu
apa makna senyum Reyhan. Atau pertanyaanku salah sampai Reyhan tersenyum
seperti itu?
“Tidak banyak yang mengetahui kisah hidup Mak
Nah. Sama sepertimu, Mak Nah baru 8 tahun disini”
“Delapan tahun? Kau bilang baru?”
“Kalau Mak Nah lahir di tempat ini, sudah
kukatakan Mak Nah orang lama. Dan mungkin kami tidak akan bertanya apa yang
terjadi pada hidupnya”
“Lalu?”
Reyhan menghela nafas panjang. Sejurus
kemudian dia menatap tajam gerobak gorengan di luar. Saat itu aku tahu makna
tatapan yang begitu dalam itu. Kalimat ‘jangan dipikirkan’ hanya sebatas ucapan
saja. Tak lebih.
“Mak Nah pindah 8 tahun lalu, membawa bayi mungil.
Mutiara. Kau sudah bertemu dengannya bukan?”
Aku mengangguk agak ragu. Memoriku terpaksa
berputar cepat ke tiga hari lalu saat kutabrak anak-anak di lorong pasar. Anak
itu hanya diam. Tak mengatakan apapun. Kepalanya justru diputar-putar ke kanan
dan ke kiri. Matanya menerawang tak jelas. Selesai mengucapkan maaf, aku
langsung pergi tanpa peduli dengan anak itu. Karena kupikir waktu itu dia
normal.
“Anak yang kau ajak bicara seperti orang gila.
Dialah Mutiara, anak Mak Nah”
Ya tepat sekali. Sebelum aku menyadarinya, aku
bicara terlalu banyak dengan Mutiara. Ketika Mutiara tiba-tiba bermain di depan
mini market, aku sedang bekerja. Sejenak aku menghampirinya sembari membeli
gorengan di tempat Mak Nah. Saat itulah aku mengajaknya bicara. Ketika aku bicara,
Mutiara sama sekali tidak meresponku. Dia bahkan tidak menatapku. Seketika aku
diam. Kemudian melirik Mak Nah. Saat itu, Mak Nah tersenyum tipis padaku.
“Ah kau mengingatkan aku saja. Rasanya aku
jadi malu”
Reyhan tersenyum tipis. “Maaf. Kupikir kau masih
akrab dengan Mutiara”
“Tidak juga”kataku terpotong. “jadi, apa yang
ingin kau ceritakan?”
“Oh ya” Reyhan kembali diam sejenak sebelum
melanjutkan ceritanya “Sejak datang, Mak Nah tak pernah tersenyum. Maksudku
tersenyum tulus. Sama sepertimu, Mak Nah tersenyum hanya pada pelanggannya. Dan
apa menutumu itu cukup tulus?”
Aku menggeleng dengan cepat.
“Mak Nah datang hanya berdua tanpa suami.
Dengan anak yang mengalami keterbelakangan, Mak Nah berjuang seorang diri.
Mungkin itulah yang membuat Mak Nah tidak bisa tersenyum”
Reyhan menarik nafas dalam setelah
menyelesaikan ceritanya yang tak lengkap itu. Kemudian dia menepuk pundakku
sebelum meninggalkanku. Kini aku mematung sendirian. Kutatap gerobak gorengan
Mak Nah. Justru karena mendapat cerita dari Reyhan yang tak usai itu, aku
justru merasa digantung. Terlalu banyak pertanyaan dibenakku kini. Tentang
siapa Mak Nah? Mengapa ia seorang diri mengurus Mutiara? Apa yang sebenarnya
terjadi pada Mak Nah?
***
Pagi ini ponselku bergetar. Dua pesan masuk
bersamaan. Aku menghela nafas panjang. Kukucek mataku perlahan. Sejenak aku
diam. Kemudian kutengok jam dinding. Tepat pukul 04.00. Setelah merasa berhasil
mengumpulkan banyak nyawa yang tersisa, aku menyahut ponselku. Benar saja, ada
dua pesan masuk bersamaan.
Aku tidak bisa masuk. Bisa kau gantikan aku
pagi ini? May.
Jangan lupa mampi pasar dulu. May hari ini
tidak berangkat. Oh ya roti kacang kesukaanmu sudah kuselipkan di tasmu
kemarin. Pasti kau lupa membawanya?
Aku tersadar seutuhnya. Benar juga. Kemarin
karena cerita Mak Nah, aku jadi lupa membawa roti kacang kesukaanku. Padahal
setiap pagi, aku selalu menyantapnya. Untung saja Reyhan berbaik hati
menyiapkannya untukku.
Segera aku beranjak. Bersiap ke mini market
menggantikan May. Sebelum dimarahi Reyhan sang bos, aku harus tiba tepat waktu.
Tidak boleh terlambat satu detik pun. Terlebih tentang pergi ke pasar membeli
sarapan untuk anak-anak. Bisa diomeli mereka kalau aku sampai telat.
Dalam waktu 30 menit, aku sudah sampai di
pasar. Langkahku terhenti ketika sekali lagi aku mendapati Mutiara berdiri
mematung di sisi jalan tak jauh dari mini market. Entah matanya menatap kemana?
Aku tak pernah tahu.
“Sedang apa disini?”tanyaku akhirnya setelah
begitu penasaran dengan apa yang dilakukan Mutiara.
Sama seperti biasa, Mutiara tidak menjawab.
Matanya entah fokus kemana. Kepalanya mulai diputar-putar tak karuan. Sementara
kedua tangannya diadu.
“Apa di toko itu ada sesuatu yang kau
inginkan?”tanyaku lembut sembari menahan tangan Mutiara yang masih beradu.
Kali ini Mutiara melihatku. Lama kelamaan
tangannya berhenti beradu. Perlahan dia mulai mengontrol dirinya. Aku mulai
merasa dia fokus kepadaku. Dengan cepat kutimpali dengan pertanyaan lain
sebelum Mutiara kembali kehilangan fokus.
“Apa balon itu bagus?”tanyaku sembari menunjuk
balon yang sudah beberapa hari ini terpasang do sudut-sudut mini market.
Setelah mengerti dengan pertanyaanku, Mutiara
langsung mengangguk. Aku pun tersenyum. Kemudian kuajak Mutiara ke mini market.
Kutuntun langkahnya yang tak pernah benar melangkah.
“Kau ingin yang mana? Ambillah”kataku sembari
menunjukkan balon yang berwarna-warni.
Mutiara geleng-geleng. Bukan karena tak suka
pada balon itu. Tetapi dia sepertinya bingung ingin mengambil yang mana. Atau
mungkin dia takut kalau mengambil balon itu?
“Lihat, warna merah sepertinya bagus. Akan
kuambilkan untukmu”kataku cepat.
Seketika aku langsung mengambil balon berwarna
merah. Lantas kuberikan kepada Mutiara. Saat menerima balon itu, dia berteriak
kegirangan. Melompat-lompat tak jelas. Bahkan, dia sampai lupa mengucapkan
terima kasih padaku. Tetapi aku tidak masalah, aku ikut tertawa melihatnya
girang bukan kepalang seperti itu.
Setelah memberikan balon itu, tiba-tiba Mak
Nah datang. Ketika melihat Mak Nah melotot sembari mempercepat langkahnya, aku
ketakutan. Kupikir kala itu dia akan marah-marah padaku. Mungkin juga dia akan
menghajarku.
“Maaf Mak Nah, saya tidak tahu. Saya
benar-benar minta maaf”kataku panik.
Mak Nah tidak melakukan apapun. Dia hanya
memeluk Mutiara. Kemudian, dia tersenyum tipis padaku. Sebenarnya aku tak tahu
apa arti senyum itu. Yang aku tahu, Mak Nah tidak memukulku lagi.
“Terima kasih”kata Mak Nah lirih.
Aku terpekik. Kutatap Mak Nah yang mengatakan
kalimat itu dengan begitu lirih. Tetapi, aku tetap bisa mendengarnya. Mak Nah
mengucapkan terima kasih. Dan itu hal luar biasa yang bisa kudengar dari Mak
Nah yang terkenal tak bisa tersenyum itu akhirnya bisa mengucapkan terima
kasih.
“Sama-sama Mak. Aku juga senang bisa melihat
Mutiara tertawa”kataku senang.
Mak Nah kembali tersenyum. Kemudian dia
memalingkan wajahnya ke arah Mutiara yang menarik-narik tangannya, mengajaknya
melompat-lompat. Selintas, dapat kulihat senyum Mak Nah yang lebar. Aku dapat
membedakan mana senyum yang tulus dan tidak. Dan kuyakin, itu lah senyum tulus
Mak Nah.
“Baiklah, kita pulang dulu ya. Emak harus
menyiapkan gorengan ini. Nanti siang kita kembali lagi”kata Mak Nah sembari
menarik tangan Mutiara.
Mak Nah segera pamit. Tak lupa, dia juga
meminta maaf soal kejadian kemarin. Tapi, tetap. Langkah Mak Nah seakan begitu
aneh. Aku merasa langkah itu tak wajar. Dan aku menyisakan satu hal pertanyaan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Sementara Mak Nah bukanlah orang yang jahat yang
bisa memukul tangan orang tanpa alasan.
***
Siang itu, aku pamit agak terlambat.
Seharusnya aku pulang dua jam yang lalu, tetapi karena suatu alasan, akhirnya
aku harus pulang setelahnya. Aku sebenarnya lelah. Tetapi Reyhan menahanku
dengan sangat baik.
“Aku pulang dulu ya”
“Kau sudah bawa roti kacangmu?”tanya Reyhan.
Aku berpikir sejenak. Kemudian mengangguk
dengan cepat.
“Oh ya, terima kasih untuk hari ini”kata
Reyhan aneh.
Aku menggeleng sebentar. Merasa aneh dengan
ucapan terima kasih itu. Untuk apa? Untuk dua jam keterlambatan karena
membantunya? Bukankah aku sudah pernah melakukan lebih dari itu? Aku bahkan
pernah begadang demi membantunya. Dia tidak mengucapkan terima kasih kala itu.
Mengapa sekarang mengucapkan terima kasih?
“Untuk apa?”akhirnya aku bertanya.
“Untuk ucapan terima kasih dan balon merahnya”
Aku terpekik. Bagaimana Reyhan tahu hal itu?
Darimana dia tahu? Ah entahlah, aku juga tak tahu. Tetapi, kurasa, memang
ucapan terima kasih terdengar cukup indah hari itu.
“Terima kasih juga untuk roti kacangnya”
Reyhan hanya tersenyum. Kemudian aku melangkah
pergi. Pada jam itu, kurasa tidak ada yang bisa kutebengi untuk sampai ke
rumah. Padahal biasanya aku bisa ikut salah seorang diantara teman-temanku.
Setelah menunggu satu jam, aku akhirnya
menyerah. Kulangkahkan kakiku dengan agak malas. Pasar sudah terlalu sepi. Tak
seorang pun lewat. Kalaupun ada, bukan orang yang kukenal. Terpaksa aku pulang
jalan kaki. Meski tak jauh, tetapi aku harus melewati jalan-jalan sempit. Dua
kali aku lewat sana, dan perasaan ngeri itu masih tersisa. Tetapi situasi ini
mendesak. Aku ingin segera pulang dan tidur.
Akhirnya aku melewati jalan ini. Memotong
jalan. Melewati gang sempit yang sepi. Perasaanku sedikit takut. Tanganku
gemetaran. Aku seakan merasa diikuti oleh seseorang, tetapi saat kutengok,
tidak ada siapapun. Aku meneruskan langkah. Semakin kupercepat. Hingga
tiba-tiba terdengar sesuatu.
Bruk… suara sesuatu terjatuh terdengar keras.
Terlebih di tengah jalan sempit itu. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Menahan
tanganku yang gemetaran. Sejenak aku diam. Memastikan sekali lagi kalau aku tak
salah dengar. Kemudian aku tersadar. Aku mendengar dari salah rumah. Tentu saja
itu rumah kecil di tengah kebun dengan rumput setinggi pinggang.
Kuamati rumah yang seakan tidak berpenghuni
itu. Aku panik. Kurasa terjadi sesuatu disana. Spontan aku berlari. Tetapi
beberapa langkah, kakiku terhenti. Kutengok sekali lagi rumah itu. Dan
kupastikan aku tak salah melihat.
Mak Nah keluar dari rumah itu menggendong
Mutiara. Aku pun segera berlari ke arahnya, menghampiri Mak Nah yang terlihat
panik.
“Ada apa Mak?”tanyaku ikut panik.
“Mutiara!”teriaknya entah sadar atau tidak.
Kulihat Mutiara. Tak sadarkan diri. Entah apa
yang terjadi padanya. Aku tak tahu, tetapi melihat Mak Nah berlari panik, aku
juga ikut panik. Aku segera mengikuti langkah Mak Nah yang luar biasa cepat.
Padahal dia menggendong Mutiara.
Nafasku tersengal sebelum sampai di puskes.
Sementara Mak Nah sudah 5 meter jauhnya dariku. Sungguh, untuk sejenak aku
menganggumi perjuangan Mak Nah. Demi Mutiara dia berlari cukup jauh.
Saat tiba di puskes, Mutiara langsung dibawa
dokter. Sementara aku dan Mak Nah menunggu di luar. Mak Nah masih panik. Dia
bahkan tak bisa duduk dengan tenang. Meski sesekali dia melirikku. Tetapi, dia
sepertinya tak bisa bertanya untuk apa aku ada di sana?
Aku pun tak bisa menjelaskan bagaimana aku
bisa ada di tempat itu, mengikuti larinya yang terlampau cepat. Yang membuat
kakinya yang tak beralas menjadi kotor dan penuh luka. Tapi saat itu, mungkin
Mak Nah tak peduli dengan kakinya. Satu-satunya yang dipedulikannya adalah
Mutiara.
“Mutiara alergi kacang”jelas Mak Nah tiba-tiba
setelah melihatku beberapa kali.
Mak Nah berdiri tepat di depanku. Daripada
bertanya mengapa aku ada di sana, kuyakin, Mak Nah butuh tempat untuk
bersandar. Butuh telinga untuk mendengar setiap keluh kesahnya.
Aku pun berdiri. Kutepuk pundak Mak Nah
berulang kali. Entah, apa itu cukup membuatnya tenang.
“Maafkan aku, aku tidak tahu”kataku akhirnya
karena merasa bersalah telah memberikan roti kacang pada waktu itu. Untung
saja, Mak Nah memukul tanganku.
“Dia tidak bisa makan tepung, kacang, dan
susu”jelas Mak Nah sekali lagi sembari menahan air matanya. “Tapi hari ini, aku
kecolongan, aku tak tahu dapat darimana dia. Tiba-tiba nafasnya sesak. Kemudian
dia tidak sadarkan diri. Kulihat ada roti di sampingnya…”
Mak Nah tidak bisa menahan dirinya. Seketika
tangisnya pun tumpah. Kupeluk Mak Nah erat-erat. Kubiarkan pundakku basah oleh
air matanya. Aku tahu, seberapa berat bebannya. Aku tahu seberapa tegar dia
menghadapi semua seorang diri. Dan kali ini pun dia pasti bisa melewati semua
dengan baik.
Tetapi, beberapa menit setelahnya, semua beban
itu seakan dihempas ke pundak Mak Nah dengan kekuatan penuh. Kabar yang dibawa
dokter kala itu, cukup membuat semua hancur. Seketika Mak Nah terkulai di
lantai. Tangisnya kembali pecah.
“Dia anak yang malang. Setelah ayahnya
meninggal, setelah kami diusir dari rumah, setelah semua ujian berat ini, dia
harus hidup seperti ini. Bagaimana aku harus menjaganya lagi? Aku tidak ingin
kehilangan dia. Mutiara adalah satu-satunya alasan aku tetap bertahan.
Bagaimana kalau dia tak pulang bersamaku? Apa yang harus kulakukan. Mutiara
tidak boleh meninggalkan Ibu!”
Entah harus kusabarkan dengan cara apa Mak
Nah. Bebannya terlampau berat. Dan aku tak bisa memikul untuknya. Aku masih
terlalu lemah. Untuk saat ini, aku hanya bisa menepuk pundaknya. Menenangkan
dengan cara yang bahkan tak memberi apapun.
Aku terdiam. Menunduk begitu dalam. Mak Nah.
Mutiara. Bagaimana harus kujelaskan pada diriku sendiri tentang mereka.
Perjuangan dan penderitaan mereka. Mengapa tak seorang pun berdiri di samping
mereka dan memegang tangan mereka? Mengapa semua orang berpikir untuk tidak
memikirkannya?
Andai aku datang lebih cepat, mungkin aku bisa
membuat Mak Nah tersenyum lebih lama. Andai saja aku menarik tangan Mak Nah
ketika dia memukulku, mungkin aku bisa memberikan balon kepada Mutiara lebih
cepat. Andai aku berani bertanya apa yang terjadi padanya jauh lebih cepat,
mungkin aku bisa meringankan segala beban itu.
Tidak. Setelah kematian Mutiara, Mak Nah tak
pernah lagi tersenyum. Bahkan, Mak Nah tak pernah lagi terlihat jejaknya.
Gerobak gorengan yang biasanya ramai, kini sepi. Dan satu-satunya yang kuingat
adalah senyum terakhir Mak Nah untuk Mutiara. Hanya itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar